Malam Sharing Pertama

Keindahan Kopel

Kegiatan Hari Kedua

Hari Pertama di Desa

Pages

Narasi Si Ghamdan

2/9/10

“Saudara-saudara, setelah kita pulang dari Sukomangli, pelajaran dan pengalaman yang kita dapatkan selama 4 hari ini marilah kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.”. Kemudian, tepuk tangan bergemuruh.

Itulah pernyataan sang penulis setelah diminta tanggapannya oleh Pak Ikhwan, Wali Kelas X-Olimpiade, setelah mendengarkan perjalanan hidup salah seorang warga di Desa Sukomangli, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal, yang bernama ibu Ety Sukarni.

Ya. Selama empat hari mulai tanggal 16 hingga 19 Januari 2010, para siswa kelas X SMA 3 Semarang melaksanakan acara yang diberi nama Live In. Acara yang diselerenggarakan setiap ini mengajak para siswa mengikuti aktivitas sehari-hari penduduk di pedesaan (dalam hal ini kelas X-Olimpiade, X-7, dan XI Gabungan ditempatkan di Desa Sukomangli) dan dapat bersosialisasi dengan masyarakat pada umumnya.

16 Januari 2010 - HARI PERTAMA

Sabtu pagi (biasanya bangunnya agak siang, ya kalau hari sabtu khusus pengembangan diri, bukan KBM) dengan sangat terpaksa harus bangun pagi karena menurut jadwal jam 6 sudah harus siap di sekolah, maka sang penulis mulai pukul 4 pagi sudah siap packing dan setengah 6 pagi sudah meninggalkan rumah. Sesampainya di sekolah, yang terlihat hanyalah suasana kosong melompong alias masih sepi. Bus yang akan mengangkut peserta Live In belum hadir. Sembari menunggu, sang penulis mencoba mencari rekan-rekan kelas yang lainnya. Tak lama berselang, sekolah mulai penuh dengan lautan mobil dan manusia, begitu juga bus yang akan mengangkut telah sampai. Sebelum upacara pemberangkatan, para peserta mendapatkan topi yang wajib digunakan selama pelaksanaan live in.

Saatnya upacara pelepasan. Upacara dipimpin oleh Bp. Hari Waluyo (Kepala SMA 3 Semarang). Tidak lupa dalam upacara ada pelepasan peserta secara simbolis dengan memakaikan topi kepada 2 perwakilan siswa. Setelah upacara, seluruh peserta mulai memasuki bus kelas masing-masing. Bus kelas sang penulis bernomorkan 13 (bukan berarti jalannya paling belakang). Tak diduga, bus yang digunakan kelasnya sang penulis ada AC-nya

“Tadi saya nempelin nomornya aja acak lho,”tutur Pak Ikhwan.

Walau begitu, bus ini hanya berkapasitas 27 orang. Karena murid satu kelas berjumlah 32, maka sisanya dengan terpaksa duduk di tengah. Sayang, walau ini bus berAC, AC-nya tidak dihidupkan. Suara mesin distater pun terdengar, saatnya berangkat. Selama perjalanan, tak ada yang istimewa kecuali senandung dangdut yang mengalun saat memasuki Kendal. Namanya aja anak muda jaman sekarang, pastinya ya tidak suka dengan dangdut pedesaan. Jalan yang ditempuh untuk mencapai Kantor Kecamatan Patean pun banyak sekali tikungan karena terletak di pegunungan yang pastinya di bawahnya ada jurang.

Dua jam berselang, akhirnya kami pun sampai di Kantor Kecamatan Patean untuk mengikuti upacara penyambutan. Dalam upacara ini dilakukan pengenalan kepala desa se-Kecamatan Patean, Kab. Kendal.

Upacara penyambutan ini tak lebih dari 30 menit. Selanjutnya para peserta menuju desa tujuannya masing-masing. Kelas X-Olim bersama X-7 dan XI Gabungan (yang tahun lalu tidak dapat mengikuti Live In karena alasan khusus) menuju desa Sukomangli. Karena ada bus yang harus kembali ke Semarang, maka kelas XI Gabungan bergabung di bus X-Olim. Pastinya sesak bukan main.

Akses menuju desa ini masih terbilang belum terawat dan bahkan ketika sampai di desa ini jalannya masih berupa jalan batu. Sungguh, ini merupakan keadaan yang sangat kontras karena di desa ini ada pabrik karet milik PT PN IX (Persero).

Akhirnya, sampailah juga kami di desa Sukomangli. Terlebuh dahulu kami berkumpul di balai desa untuk mendapatkan arahan dan menunggu orang tua asuh selama di desa ini. Sang penulis bersama Itqam, Dimas, dan Ari mendapat orang tua asuh sebagai tani. Beliau bernama pak Ngadimin.

Si Mahardika, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Slim, mendapat orang tua asuh yang bernama Ety Sukarni. Tak tanggung-tanggung,beliau merupakan nenek dari artis Vanessa Angel.

Setelah kami berkenalan dengan Pak Ngadimin, kami berempat langsung menuju ke rumah beliau. Jalan menuju rumahnya agak jauh, ditambah dengan jalannya yang agak menanjak dan masih berupa bebatuan. Tak sampai 10 menit, kami pun sampai di rumah beliau. Bayangan saya, rumahnya masih kayu dan belum berkeramik. Ternyata dugaan saya agak melenceng. Alhamdulillah, lantainya berupa keramik, tapi bangunan utama masih berupa kayu (kecuali kamar mandi sudah memakai batu bata). Kamar mandinya seperti di kota.

Kami pun langsung menuju ke ruang tamu. Pak Ngadimin pun mengajak kami untuk mengobrol sejenak dengan Bahasa Jawa Krama yang intinya meminta maaf jika keadaan rumahnya ya seperti ini, dan nantinya lauknya ya seadanya. Kami pun mengiyakan tidak apa-apa.

‘’Perlu diketahui, sebagian masyarakat di desa ini dalam berkomunikasi lebih sering menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia’’

Pak Ngadimin memiliki dua orang anak, anak pertama berumur 7 tahun, sedangkan anak kedua berusia kurang lebih dua setengah tahun.

Karena kami sampai di rumah saat waktunya makan siang, langsung saja kami makan siang bersama. Lauknya seperti yang saya makan sehari-hari (wejian). Setelah makan siang, kami mencoba mengakrabkan diri dengan kedua anak Pak Ngadimin, Roni dan Fitri

Lalu, tak ada salahnya kami menyempatkan diri untuk melihat seisi rumah. Ketika saya masuk ke dapurnya, WOW. Masih berupa tanah dan di dapur ini saya menemukan tiga jenis kompor, ada kompor kayu, kompor gas bantuan pemerintah, dan kompor minyak tanah. Di samping dapur ada kandang sapi. Sapinya ada satu. Walaupun begitu, sapinya terlihat jarang mandi. Di belakang kandang, ada halaman yang cukup luas yang nantinya digunakan untuk menjemur padi.

Tak terasa sore pun tiba, saya mencoba berjalan-jalan menuju sebuah lapangan sepak bola. Ternyata, banyak rekan-rekan saya yang sedang bermain di sana. Masya Allah, luasnya bukan main. Yang lebih unik, lapangan ini dikelilingi oleh hutan karet dan di sampingnya terdapat makam penduduk setempat.

Karena hampir maghrib dan cuaca sudah tak mendukung, saya memutuskan untuk kembali ke rumah. Benar, hujan pun langsung mengguyur Sukomangli. Derasnya bukan main

Setelah maghrib, masing-masing kelas melakukan malam sharing. Malam sharing berarti siswa dengan bebas menyampaikan narasi pembelajaran berdasarkan pengalaman mereka saat beraktivitas pada hari itu. Dalam menyampaikan narasi pembelajaran tersebut, para siswa menguraikan kesan-kesan, refleksi diri, dan hikmah pelajaran apa saja yang bisa memperkaya batin mereka. Narasi pembelajaran ini pula yang akhirnya dijadikan isi laporan Live In tertulis kelas masing-masing. Untuk kelas X-Olimpiade dan XI-Gabungan sudah sepakat untuk melaksanakan malam sharing di balai desa. Walau hujan terus mengguyur, the show must go on.

Narasi dilakukan menurut urutan absen. Tentu saja, tak lengkap tanpa ada kudapan. Si Nisa membuatnya tadi sore (walau pada akhirnya masih sisa banyak). Pada malam sharing kali ini, penuh sekali guyonan karena ya tentu saja pengalaman pertama mereka hidup di desa.

Ada yang menarik dari saya. Saya menggunakan baju koko yang biasanya digunakan dalam acara keagamaan, seperti shalat id. Rekan-rekan saya bisa dibilang cukup kaget dan bahkan ada yang tertawa. Tak apa. Harus beda dengan yang lain. Topik malam sharing yang pertama adalah keadaan keluarga asuh dan rencana aktivitas esok hari. Tetapi ada juga yang sudah beraktivitas pada hari pertama, seperti Irham. Ia bersama orang tua asuhnya membuat krupuk dari awal peracikan hingga packing. Si Luthfi bersama rekannya dari X-7, Dhewa, bersama ibu asuhnya terjun ke kebun. Wow. Tapi, ada cerita yang dirasa sangat mengagetkan. Saat giliran si Audi, ia menceritakan bahwa orang tua asuhnya baru saja berduka. Spontan, satu kelas kaget. Pak Ikhwan rencananya mau memindahkan si Audi ke tempat lain, tapi si Audi mengatakan bahwa rasanya kasihan juga, nanti malah gela (kecewa-Red).

Lalu, saat giliran si Reza Bun, ia menceritakan hal yang sangat jauh dari bayangan kami sebelumnya.

“Sebelum mandi, BAB dulu tho pak...”. Satu kelas langsung tertawa.

“E...tiba-tiba, ibunya yang punya rumah membuka pintu WC.”

Salah seorang rekan menyeletuk “Dengan perasaan bangga ya??”

HUAHAHA....

Akhirnya, hujan pun reda. Karena sudah terasa larut, pukul setengah 10 malam sharing yang pertama selesai. Kami pun pulang dan bersiap-siap untuk melakukan aktivitas pada besok hari.

HARI KEDUA – 17 JANUARI 2010

Pukul 5 pagi saya mulai bangun dan langsung shalat subuh. Sebelumnya saya ditawari teman-teman sekelas untuk melihat sunrise di daerah yang bernama Kopel. Saya pun mengiyakan. Untuk mencapai Kopel, kami harus melewati hutan karet yang terletak tak jauh dari lapangan sepak bola. Tak lebih dari 20 menit, kami pun sampai. Subhanallah, indah sekali pemandangan di sini. Benar-benar lukisan alam ciptaan Yang Maha Kuasa. Pastinya kami tak puas hanya dengan melihat ‘lukisan’ ini begitu saja, tentunya kami sempatkan diri dengan berfoto ria. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 6, dan artinya kami harus beraktivitas dengan orang tua asuh masing-masing, kami pun langsung membubarkan diri. Saat perjalanan kembali, di lapangan sepak bola ada si Bela yang baru saja datang untuk melihat sunrise di Kopel. Sayang, ia pun tak dapat ke sana karena tak ada yang menemani. Namun, ada juga rekan-rekan saya yang menyempatkan diri untuk bermain sepak bola sebelum pulang.

Sang penulis langsung kembali ke rumah. Di rumah hanya ada si Itqam. Sementara, orang tua asuh kami sedang menyiapkan sarapan. Sambil menunggu, kami membantu bapak asuh kami memberi makan sapi. Rasanya enak juga. Tak lama kemudian, Ari dan Dimas pun datang dan langsung bergabung dengan kami. Setelah memberi makan sapi, kami diajak untuk menjemur padi. Mula-mula, kami harus memindahkan alas yang terbuat dari bambu dan 2 karung besar nan berat yang berisi padi. Memang merepotkan sih, mau bagaimana lagi. Saat menjemur padi dengan tangan, rasanya agak gatal (apa banyak kutunya ya?). Apalagi, pekerjaan ini wajib dilakukan setiap hari. Saya tak bisa membayangkan pak Ngadimin melakukan hal ini seorang diri.

Akhirnya, pekerjaan untuk pagi ini selesai sudah. Saatnya menonton berita yang intinya tak lain adalah Pansus Century. Akhirnya, saat yang dinantikan telah tiba, SARAPAN. Jika biasanya di rumah sang penulis sarapan dengan makanan yang terdiri dari telur, daging, dan susu, kali ini tidak. Sarapannya hanya oseng kangkung, krupuk, kering tempe dan teh. Sungguh, apa adanya. Walau sebenarnya ini bukan menu 4 sehat 5 sempurna, tapi saya tetap mensyukuri hal ini . Dalam hati saya berkata:”Ya Allah, beruntung sekali hambaMu ini. Ternyata, masih banyak orang yang makannya tidak seperti saya.”

Setelah sarapan, rencana selanjutnya adalah ikut beraktivitas dengan orang tua asuh. Tetapi, karena beliau-yang sepertinya merupakan ustadz setempat-melayat seorang warga yang baru saja meninggal. Beliau pun juga diserahi tugas untuk mendoakan jenazah. Kami pun sabar menunggu.

Sambil menunggu, lagi-lagi menonton TV. Hari Minggu ya film kartun, sebut saja Toys Story 2 dan Doraemon. Inbox pun tak ketinggalan. Saat lagu dari Nidji yang berjudul Sang Mantan mengalun saat reff:

“Mana janjii maanissmuuuu....”

Tiba-tiba:

“Kula nuwuuuun (Permisi-Red).”

Ternyata eh ternyata, orang yang datang itu tidak lain adalah Pak Ikhwan dan Bu Emmy yang sedang melakukan survey ke setiap rumah yang ditempati siswa. Mereka pun bengong dan berkata:

“Ndan, kok nggak kerja?”

“Bapaknya nglayat pak..”

Tadi pagi kalian udah kerja apa aja?,”tanya Bu Emmy.

“Makani sapi sama jemur padi..”

“Di mana?”

“Di belakang”

Ayo, jemur padinya diulangi lagi. Mau tak foto buat dokumentasi,

Seketika, kami berempat pun langsung menuju ke belakang dan berpose seolah-olah menjemur padi seperti tadi pagi. Setelah proses pendokumentasian, Pak Ikhwan dan Bu Emmy berbincang sejenak dengan ibu asuh kami sambil menyerahkan uang hidup selama 4 hari.

Setelah Pak Ikhwan dan Bu Emmy berpamitan, Pak Ngadimin datang dan langsung mengajak kami ke ladang jagung miliknya. Dalam agenda hari ini, kami ke ladang jagung untuk mencabuti dedaunannya yang nantinya akan digunakan untuk pakan sapi.

Sebelum berangkat, beliau menyuruh kami untuk memakai sepatu but. Walau agak besar, tak apalah. Ladang jagungnya terletak cukup jauh dari rumahnya. Jalannya pun menurun agak curam dan melalui sawah. Sang penulis dan handycamnya hampir jatuh ke kali karena terpeleset saat akan menyeberangi sungai.

“Kalo handycamnya jatuh ke kali, acara dokumentasinya bubar..”

Akhirnya, setelah melewati halang-rintang seperti di negeri-antah-berantah-nggak-jelas-di-mana, kami sampai di ladang jagungnya. Beliau juga mengingatkan jika saat mencabuti dedaunan, tangan kami agak gatal sedikit.

Terkadang, ketika mencabuti dedaunan, tiba-tiba muncul semut dengan jumlah yang tak karuan banyaknya atau serangga yang bisa dibilang ‘membahayakan’. Saya kira ladangnya hanya sepetak, ternyata lebih dari itu. Otomatis, kami pun berlama-lama di sini sampai tengah hari. Saya pun tak dapat membayangkan bagaimana Pak Ngadimin jika melakukan hal ini sendirian.

Daun yang telah terkumpul pun sudah banyak. Saatnya pulang. Dalam perjalanan pulang, jalan yang kami lalui sangat licin dan berlumpur. Terpaksa kami ber-cekeran ria.

Begitu sampai di rumah dan menaruh hasil memetik dedaunan tersebut, kami langsung istirahat sejenak (baca:tidur) sekalian untuk mempersiapkan diri pada malam sharing nanti.

Tak terasa, sore telah tiba. Tak ada salahnya kami bermain-main sejenak dengan kedua anaknya Pak Ngadimin sambil menonton TV. Tiba-tiba, ada seorang perempuan berteriak:

“NDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN.”

Seisi rumah kaget dan terkejut. Setelah kami mengecek, ternyata itu adalah suara Addin yang mengajak saya dan Itqam untuk pergi bersama ke balai desa untuk malam sharing. Topik malam sharing kedua ini adalah pekerjaan yang dilakukan siang tadi. Karena banyak yang teler karena bekerja seharian, maka malam sharing diakhiri 30 menit lebih awal.

Setelah malam sharing usai, rekan-rekan saya mengajak saya pagi harinya melihat sunrise di Luwung, tapi dengan terpaksa saya menolak dengan alasan untuk menjaga kondisi. Salah seorang rekan saya, Luthfi Hamid, meminta ijin untuk meminjam kamera sang penulis untuk digunakan dalam dokumentasi. Tentunya saya mengijinkan karena saya masih punya cadangan, handycam.

HARI KETIGA – 18 JANUARI 2010

Pukul 6.00, saya bangun drai tidur. Tetapi, Dimas dan Ari tampaknya sudah pergi lebih pagi dengan rekan-rekannya dari X-7 untuk melihat sunrise. Karena pekerjaan inti masih lama, saya mencoba melihat sapi di kandang. Ternyata, Pak Ngadimin sedang membersihkan kandang. Sejurus kemudian, saya pun berkata kepada beliau yang intinya saya diperbolehkan membantu membersihkan kandang sapi. Beliau pun mengijinkan

Ini pertama kalinya saya membersihkan kandang sapi, yang sudah banyak kotorannya pula. Baunya pun sedap, bagaikan Eau De Toire (bo’ong banget). Untuk membersihkannya butuh tenaga ekstra. Dengan berbekal serok yangterbuat dari kayu, maka kotoran terseput dikumpulkan dan natinya akan ditaruh di kebun yang tak jauh dari rumah Pak Ngadimin untuk dijadikan pupuk.

Setelah acara membersihkan kandang selesai, saatnya kotoran tersebut dibawa ke kebun dan ditaruh begitu saja agar nantinya menjadi pupuk. Saya mencoba bertanya:

“Pak, ini nanti pupuknya ada yang ngambil.”

“Iya, lumayan nak, bernilai jual.”

Kemudian, kami kembali ke rumah dan sarapan. Selanjutnya, kami diajak untuk menanam d kebunnya. Kali ini bukan di depan rumah yang saya tulis tadi, melainkan mblusuk di hutan. Perjalannya pun bagaikan saat saya menuju ke Air Terjun Semirang. Jalannya pun masih berupa lumpur, sebelahnya jurang. Tak kusangka, sandal swallowku njebat. Malang nian. Terpaksa, sandal swallow itu saya tinggal dan saya pun melanjutkan perjalanan dengan cekeran sambil mendokumentasikan agenda hari ini (walaupun sangat berisiko karena sewaktu-waktu dapat terpeleset ke jurang). Setelah mblusuk-mblusuk hutan kurang lebih satu jam lamanya, akhirnya sampai juga di kebun yang dimaksud. Pak Ngadimin juga mengatakan bahwa jika di sini jangan heran jika dirubung (dikelilingi-Red) nyamuk. Mau kenalan katanya...

Saya jadi lupa, Pak Ngadimin sejak awal perjalanan membawa kapak, pisau, dsb. Mau apa ya?

“Sekalian cari kayu buat masak.”

“HA?”

Walau di rumahnya sudah ada elpiji 3 kg bantuan pemerintah, ternyata beliau masih setia dengan kayu bakar sebagai alat untuk memasak. Sungguh ironi. Maka dari itu, beliau membawa tumbuhan untuk ditanam (mungkin) sebagai tanggung jawab atas pengambilan kayu sekaligus melestarikan alam (wejian). Kayu yang diambilnya cukup banyak. Sang penulis penasaran dan ingin mencoba memotongnya. Ternyata susah juga. Kali ini, Pak Ngadimin tidak mau dibantu dalam membawa kayunya. Berat soalnya.

Agenda hari ini selesai. Saatnya istirahat di rumah (baca: tidur siang). Karena nantinya pukul 13 siang, X-Olim, X-7, dan XI-Gab. akan tur darmawisata ke pabrik pengolahan karet milik PT PN IX. Capek rasanya badan ini. Walau bagaimanapun, kami tetap mengikuti tur ini. Sebelum berangkat, kami menjemput beberapa rekan kami dan berkumpul di balai desa.

Sesampainya di balai desa, Pak Ikhwan bercakap-cakap dengan saya:

“Ndan, untung si Yasinia mengingatkan saya untuk meminta ijin ke sana (PT PN IX). Ternyata, setelah sampai sana, birokrasinya lamanya minta ampun. Sampai ke Semarang segala urusannya. Kita meyakinkan pengelolanya jika kita sudah menggunakan desa ini berkali-kali. Akhirnya, pengelolanya mengijinkan.

Untuk urusan dokumentasi, memang boleh. Tetapi tidak boleh dipublikasikan ke manapun alias untuk kalangan sendiri.”

Sang penulis pun kaget, wow. Maka, kali ini saya tak dapat bercerita banyak bagaimana suasana di pabrik karena ya itu tadi, dokumentasi hanya untuk kalangan sendiri.

Setelah puas darmawisata gratis ini, robongan X-Olim terlebih dahulu singgah di rumah sementaranya si Yasin sambil mencicipi berbagai kudapan yang ada di rumah ini. Kemudian, mampir di rumah sementaranya si Shena untuk mampir minum. Rumah sementaranya si Shena ini rumahnya pak carik. Bisa dibilang barang-barang yang ada di rumah ini seperti di kota, seperti laptop.

O, iya, saya lupa mengatakan jika ini adalah hari terakhir kami di desa Sukomangli. Maka, sore harinya kami manfaatkan betul dengan bermain bersama anak-anak setempat. Si Yaris dan Bela mencoba menaiki sepeda yang jelas-jelas sepeda untuk anak 10 tahunan. Selanjutnya, rombongan putra bermain sepak bola yang sangat sejuk di desa ini. Sementara para rombongan putri dolanan keplok nyamuk, sama saat seperti GPLB. Puas sekali rasanya.

Menjelang maghrib, kami pun pulang ke rumah masing-masing untuk persiapan malam sharing yang kali ini surprise, maksudnya tempat dan narasumbernya masih dirahasiakan. Sesampainya di rumah, saya bersama Itqam bermain bersama Roni dan Fitri untuk yang terakhir kalinya. Hiks.

Malam harinya, kami berempat (saya, Ari, Dimas, Itqam) makan malam bersama Pak Ngadimin dan Ibu di ruang tengah sambil berbincang-bincang sejenak. Saya mencoba untuk bertanya (bahasa kerennya mewawancarai) Pak Ngadimin.

=================================================================

“Pak, kalau boleh tahu bagaimana asal usul desa Sukomangli?”

Dahulu (menurut legenda), di desa sini ada bahurekso yang sangar, gagah, pokoknya yang hebat-hebat. Setiap kali ada maling atau pencuri pasti kembali. Maksudnya nggak jadi nyuri. Makanya, desa ini diberi nama Sukobali. Namun, saat penjajahan Jepang, nama desa ini diubah menjadi Sukomangli, sampai saat ini.

“Jadi sampai saat ini kasus pencurian, pemerkosaan, penganiayaan itu tidak ada, Pak?”

Iya. Alhamdulillah tidak ada, bisa dikatakan nol kriminalitas. Kalau misalnya saya naruh motor di luar sampai pagi pun masih utuh. Perlu diketahui saja nak, pabrik karet PT PN di sini itu sebenarnya warisan Belanda. Desa ini memang dulunya basisnya Belanda.

“Untuk penduduknya, Pak, rata-rata berpendidikan atau lulusan apa?”

Di sini rata-rata lulusan SMA, kalau lulusan PT bisa dihitung dengan jari. Bahkan ada juga lulusan SD, nak. Kalau pekerjaan rata-rata among tani, ya ada juga yang kerja di pabrik.

“Setiap daerah pastinya mempunyai kebiasaan atau adat istiadat ya Pak, kalau di desa sini ada kebiasaan khusus seperti saat merayakan Idul Fitri atau Idul Adha?”

Tidak ada. Dulu pas bulan puasa anak-anak sini membangunkan sahur sambil keliling-keliling sambil menabuh atau memukul botol. Tapi sekarang tergantikan oleh pengeras suara mushala.

=================================================================

Tak terasa, waktu untuk melaksanakan malam sharing yang terakhir telah tiba. Saatnya kami berempat menuju tujuannya masing-masing. Namun, rombongan kelas saya berkumpul terlebih dahulu di baldes. Katanya sih tempatnya masih dirahasiakan, apalagi narasumbernya. Istilah kerennya special guest.

Setelah Pak Ikhwan datang di baldes dan langsung mengajak kami ke tempat yang dirahasiakan tersebut. Beberapa rekan kami sudah menduga jika kita akan ke rumahnya Slim. Ternyata, tebakan itu betul. Saat kami datang, Slim dan rekan serumahnya sedang bermain kartu. Apalagi kepergok wali kelas. Duh..duh..duh...

Topik malam sharing terakhir ini sangat menggugah hati, yaitu mendengarkan kisah hidup seorang warga yang dinilai sukses dalam mengurus anaknya. Dalam hal ini, narasumber tersebut adalah Ibu Ety Sukarni.

Tetapi, dalam malam sharing ini, yang lebih banyak berbicara adalam anak pertamanya, Mulyadi.

“Jika ibu disuruh cerita, pasti nggak sampe hati.”

Memang, dalam malam sharing yang terakhir ini mengisahkan keluarga Ibu Ety Sukarni bagaimana menghidupi keluarganya seorang diri.

Saat anak-anaknya masih sekitar usia SD-SMP, suami Ibu Karni meninggal. Fasilitas yang didapat keluarga dari tempat suaminya bekerja, PT PN, langsung dicabut karena yang bersangkutan meninggal dunia. Ibu Karni langsung memutar otak bagaimana menghidupi anaknya yang berjumlah 8. Ide yang muncul adalah dengan berjualan tempe keliling kampung. Langsung beliau melakukan itu. Bahkan salah satu anaknya sampai ngenek.

Alhamdulillah, kini semua anaknya sudah mentas. Bahkan, salah satu cucu Ibu Karni adalah seorang artis.

Seisi ruangan langsung trenyuh saat mendengar kisah ini.

Kemudian, beberapa siswa dimintai tanggapannya. Sebut saja Gatya, Bun, Verdy, Irham, dan tentu saja sang penulis.

Tetapi sayang, ketika Gatya dimintai tanggapannya, ia malah menceritakan ketika ia bekerja bersama orang tua asuhnya di sawah. Sungguh bertolak belakang. Saat sang penulis memberi tanggapan dan saat mengucapkan kata ‘IMPLEMENTASI’, seisi ruangan langsung bertepuk tangan. Dalam batin apa mereka tak pernah mendengar kata ‘IMPLEMENTASI’ atau saya baru mengucapkan kata ini sekali.

Nonog pun menyeletuk,”Kaya sambutan ning kecamatan wae (Seperti sambutan di kecamatan saja-Red)”.

Tanggapan saya memang panjang lebar sih sebenarnya, seperti sambutan. Memang benar dia.

Setelah saya memberikan tanggapan, langsung saja acara malam sharing yang terakhir diakhiri. Saatnya berkemas dan istirahat karena kami sudah harus meninggalkan desa ini pukul 7 pagi.

HARI TERAKHIR – 19 JANUARI 2009

Sebenarnya, saya tidak tega untuk meninggalkan segala keramah-tamahan di desa ini, apalagi keluarga yang saya tempati. Namun, jadwaln tetaplah jadwal yang harus dijalankan. Maka pukul 7.00 kami berempat berpamitan dan mengucapkan terima kasih serta memohon maaf apabila jika selama 4 hari ini kami melakukan kesalahan yang berarti. Roni dan Fitri yang sudah kami anggap seperti adik kami sendiri sudahmengikhlaskankepergian kami. Sebelum pergi ke baldes, kami bertukar kenang-kenangan. Kami berempat mendapatkan satu dus berisi camilan dan krupuk yang biasa kami makan di sini.

Bus yang akan membawa kami pulang menuju Semarang pun telah tiba. Rombongan dikumpulkan terlebih dahulu di baldes untuk upacara perpisahan dan pemberian kenang-kenangan dari sekolah.

Sebelum semua anggota rombongan pulang, kami juga menyempatkan diri untuk berpamitan dengan semua anggota masyarakat di desa ini. Saatnya masuk bus yang sangat sesak. Para penduduk pun melepas kepergian kami.

Pembaca yang budiman, Live In yang telah dilaksanakan ini menurut saya sangat berhasil dalam membentuk karakter seseorang untuk lebih peka dan peduli dengan masyarakat di sekitar, apapun strata sosialnya. Dan saya juga semakin lebih menghargai pekerjaan seseorang apapun itu asalkan dengan cara yang halal.

Jangan menyerah, teruslah berkarya. Syukuri apa yang ada, karena hidup adalah anugerah.

0 komentar:

Post a Comment