Malam Sharing Pertama

Keindahan Kopel

Kegiatan Hari Kedua

Hari Pertama di Desa

Pages

Narasi Shena Meita

2/7/10


STARTING THE JOURNEY

16 Januari 2010, hari pemberangkatan LIVE IN yang kutunggu-tunggu telah tiba. Tak seperti seharusnya, di hari se-special itu aku malah bangun terlambat dan terpaksa berangkat terburu-buru tanpa memungut secuil makananpun. Di perjalanan, kupakai sepatu ketsku tak lupa kupatutkandiriku di cermin kecilku. Debar jantungku terasa sangat kuat. Semoga aku tak terlambat apalagi ditinggal bis.

Sesampainya di sekolah aku masih bingung. Katanya mau LIVE IN kok bisnya belum datang, tapi pikiran itu kubuang jauh-jauh. Turun dari mobil, dengan perut yang terasa teriris-iris pisau karena belum makan, aku lekas menarik koperku dan menjinjing 2 tas besarku itu dengan cepat ke arah selasar Ruang Seni 3.

Kuharapkan aku dapat menjumpai teman-temanku yang sudah menunggu dari tadi. Sesampainya di sana, seluruh bayangan yang telah kuharapkan itu pudar seperti terhembus angin. Hanya kudapatkan seorang temanku, Nisrina Nur Addin yang akrab kupanggil Addin yang sedang bermain hp-nya. Oh My God. Kecewanya diriku. Diriku yang semulanya sangat bersemangat langsung loyo begitu saja. Bahuku terasa melorot, kedua tas besarku yang sedari tadi kubawa hampir jatuh. Untung saja tak jatuh, kalau tidak pasti kenang-kenangan yang akan kuberikan kepada orang tua asuhku mungkin sudah pecah. Kuhampiri Addin, sambil menyapanya. Kulihat kecerahan yang mulai tampak dari wajahnya. Yah, lebih baik menunggu bersama seorang temanku daripada tidak ditemani siapapun.


Menunggu itu membosankan. Tepat sekali. Sudah berkali-kali kulihat jamku, mungkin sudah hampr 50-an kali.Ternyata waktu masih berlalu selama 3 menit. Masih sedikit yang datang. Bis yang ditunggu-tunggupun juga belum terlihat batang hidungnya. Beberapa menit kemudian beberapa temanku sudah mulai terlihat. Disertai barang-barang bawaannya, seperti orang pindahan. Perbincangan hangat tentang hal-hal yang akan kami alami mulai terasa. Ada yang takut mendapat rumah yang jelek, adapula yang bersyukur ada kegiatan LIVE IN karena dapat melalui 4 hari berturut-turut tanpa memikirkan pelajaran. Tanpa pusing-pusing memikirkan soal-soal Matematika, Kimia, Fisika, dan juga Ekonomi yang harus diisi. Bebas tanpa kekangan dan peraturan, pendapatnya.

Keasyikan itu terbuyarkan setelah konvoi bus datang. Setelah mengetahui bis 13 datang, kami langsung berlarian menuju ke bis. Melihat ukurannya, sepertinya bis itu sangat kecil, tak mungkin memuat 30 orang, apalagi 32 orang, belum terhitung Pak Ikhwan, barang-barang yang tak muat di bagasi, dan juga seorang kondektur dan seorang supir.

Aku menjadi orang ketiga yang sampai di bis, seorang temanku lainnya, yang sudah sampai di bus itu tentunya dan yang lebih parah lagi aku lupa siapa namanya, sudah berkali-kali meminta sang supir membuka bagasi, tetapi tak ada reaksi, antrian sudah mulai panjang. Kuberanikan diriku, kumantapkan suaraku, dan akhirnya kudesak supir itu agar membuka bagasi. Memang supir itu terbujuk membuka pintu, tetapi bukan oleh dirinya, ia mewakilkannya kepada kondektur setianya, tak apalah.

Kondektur itu telah memasukkan kunci ke lubang pintu bagasi. Dia memutarnya ke arah jarum jam. Sekali, kunci itu berputar, tetapi hanya beberapa derajat saja. Usaha kedua, kali ini kunci itu malah tak berputar.

“Coba lagi, Pak !” teriakku. Seolah memerintah. Aku takut sang kondektur itu malah marah. Namun ternyata dugaanku salah.

Kondektur mencoba lagi. Kali ini sepertinya terlihat dengan usaha dan kekuatan yang lebih besar. Sayangnya, juga tetap nihil. Bagasi itu kini dinyatakan tak dapat terbuka dan tak dapat diisi oleh koper-koper ini.

Panik. Itulah yang kurasakan. Aku berfikir, apa yang harus kulakukan ? Tiba-tiba, kuteringat kalau bis ini tak mungkin memuat 35 orang dengan keadaan duduk sekaligus setelah kuketahui bahwa bis ini hanya mampu menampung 27 orang.

Tanpa sadar kuberteriak, “Tempat duduknya!” Akupun langsung meninggalkan koperku begitu saja. Mulai berebutan masuk ke bis untuk mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman sampai ke tempat tujuan. Kuangkat kedua tasku. Kuraih pegangan pintu, kemudian naik ke bis dan langsung tanpa pikir panjang kutaruh tas ranselku di kursi belakang supir. Tas satunya lagi kumasukkan ke celah-celah kosong di samping tempat dudukku. Satu tugas telah selesai.

Setelah itu aku langsung turun dari bis dan mencari koperku. Sedikit jengkel dan mengomel-ngomel karena koperku dijatuhkan, kuraih koperku. Kutarik ke belakang bus.

“Pak, ada tempat lain yang bisa menampung koper ini ? Bagasi samping lainnya atau mungkin bagasi yang ada di belakang bus ?” kutanya kondektur yang tadi sudah berupaya untuk membantu.

“Ke bagasi belakang saja, Mbak. Ayo Mbak, ” jawabnya.

Selamat. Ku ikuti kondektur itu. Sesampainya di tempat yang dimaksud aku terperangah. Tak mungkin. Ternyata bagasi belakang hanya sebesar 2 x 0,5 m. Seluruh koper dan tas itu tak mungkin muat di dalam bagasi itu. Daripada koper kesayanganku ini rusak gara-gara terinjak ataupun terduduki, koper itu langsung saja kunaikkan ke bagasi. Dengan kebaikan dan ketulusan hatiku, kubantu teman-temanku yang lain untuk menaikkan koper maupun tas besarnya. Lima buah koper dan sebuah tas sudah berdesak-desakan di dalam bagasi, terlihat penuh dan tak mungkin dimuati sebuah koper. Terpaksa temanku yang tasnya belum kunaikan beringkut ke dalam bis dan segera menyimpan kopernya di tempat yang menurutnya aman. Kondektur itupun kemudian menutup bagasinya.


Upacara pemberangkatan sudah dimulai. Dipimpin langsung oleh Pak Hari, Kepala Sekolah kami yang baru, upacara pemberangkatan kali ini petugasnya berasal dari Paskibar kelas XI yang mengenakan seragam OSIS lengkap. Pembukaan awal sudah dilaksanakan, selanjutnya pembacaan tujuan dilaksanakannya LIVE IN, pidato kepsek yang terasa sangat singkat, penyematan tanda dimulainya LIVE IN, dan kemudian tak terasa upacara selesai. Riuh sekali, kami berduyun-duyun menuju ke bus. Journey is begin.

NEW FAMILY

Perjalanan menuju Kendal memang terasa melelahkan. Walaupun aku dan Tia, teman sebangkuku, masih bisa bergerak leluasa di dalam bis, teman-temannku lainnya mungkin harus mau dan terpaksa duduk bertiga atau mungkin duduk di atas koper. Bukannya kami egois, tetapi tempat duduk kami ini memang berada di belakang supir. Apalagi tubuhku kan juga gedhe, selain itu juga ada tas ranselnya Tia.

Sepanjang perjalanan, kami kelas Olimpiade disuguhkan pemandangan yang indah. Sesekali hujan mengguyur, meredam hawa panas yang ada di dalam bis. Namun pengapnya bis ini tak menyurutkan semangat kami. Dari awal perjalanan sampai tiba di Kecamatan Patean kami masih saja bercanda dan bernyanyi. Terutama ketika Kondektur di bis kami menyetel dangdutan dari radio. Tawa tak mungkin dapat lagi dibendung.

Berselang beberapa waktu, Yaris ikut mendendangkan lagu yang sedang diputar.Sambil layaknya berjoget, dia meminta saweran dari teman-teman yang lain. Cek, cek, cek, ternyata selera Yaris.......

Sesampainya kami di Kecamatan Patean, kami berduyun-duyun turun dari bis. Leganya diriku setelah terbebas dari belenggu di bis. Sambil menikmati udara yang bertiup semilir, kami berjalanan menuju halaman Kecamatan Patean. Lamanya upacara penyambutan membuat kami merasa capai. Jujur kami mengikuti upacara dengan setengah hati.

Kembali ke bis secepat-cepatnya setelah upacara, pikirku. Lomba mencapai bis dimulai. Sempat aku hampir masuk ke bis 15, tapi aku cepat menyadarinya. Aku balik kanan dan kembali menuju ke bisku yang sebenarnya, bis 13. Kini bis kami yang sudah sumpek bertambah sumpek setelah tambahan dari kelas XI campuran ikut ke bis kami karena tujuan mereka sama, ke Desa Sukomangkli. Kenapa tidak di bis X-7 saja ?

Dalam perjalanan menuju ke Desa Sukomangkli kami ditinggal oleh bis X-7 dan nyaris tersesat. Setelah diberi tahu arah yang benar, kami segera bergegas menuju ke balai Desa Sukomangkli. Kabarnya X-7 sudah sampai.

Jalan menuju ke desa tersebut tampaknya tidak bersahabat. Tikungan tajam yang menanjak dan berlubang sudah kerap kami lewati. Sampai ke Pabrik Karet, sang supir bingung harus membelok ke mana. Pak Ikhwan beraksi, menelpon ke Bu Emmy. Menurutnya kami harus berjalan terus, kemudian membelok ke kanan, pada gang ketiga dari awal kami harus belok ke kiri dan berjalan terus, kemudian berbelok ke kanan dan jalan terus sampai ke balai desa.

Di sana, kami sudah ditunggu oleh orang tua asuh kami. Mana ya orang tua asuhku ? Sepertinya yang berpakaian yang rapi-rapi deh. Kan orangtuaku jadi Sekdesnya. He...he...he...

Selama prosesi penyerahan ke orang tua asuh, aku dan teman serumahku nanti, Silmi sepertinya harus menunggu lama. Yah benar. Karena kami memang yang paling terakhir. Dan yang membuat lebih jengkel, kami berdua harus merapikan dan membersihkan ruangan bali desa terlebih dahulu sebelum menuju ke rumah.

Orangtua asuhku bernama Pak Umboro Hari Sadewa. Biasa dipanggil Pak Hari atau Pak Carik. Beliau mempunyai seorang istri yang bekerja sebagai guru di SD SUKOMANGKLI. Anak beliau masih kelas XI di SMK 5 Semarang.

Perjalanan ke rumah yang kami bayangkan dengan naik mobil atau motor tak terkabul. Kami harus membawa barang-barang bawaan kami sendiri menuju ke rumah karena bapak asuh kami yang sejatinya adalah seorang carik di desa tersebut telah meninggalkan kami jauh ke belakang. Jalanku sudah terasa terseok-seok, untungnya jarak rumah dengan balai desa tak terlalu jauh. Hanya sekitar 100 m saja.

Pertama melihat rumah yang akan kutinggali selama 4 hari 3 malam itu aku serasa bermimpi. Entah berapa kali aku sudah mengedip-ngedipkan mataku, tetapi tetap saja rumah itu yang terlihat. It’s my lucky!

Halaman depan rumahku itu tak sebesar yang kubayangkan seperti halaman-halaman rumah di pedesaan. Hanya sekitar 1 x 5 m. Dengan pagar halaman berwarna oranye mencolong, di atasnya terlihat 6 buah burung patung burung kuntul yang berwarna putih sedang bertengger. Di tengah-tengah pagar itu terlihat lubang yang berisi hiasan dari kawat berbentuk tiga buah bunga yang cukup cantik. Di ujung timur halaman, terdapat sebuah kolam berisi ikan koi yang cukup menarikku untuk menangkapnya. Aku serasa seperti pindah ke gedong.

Begitu sampai ke halaman itu, aku langsung dipersilahkan masuk. Pak Hari, begitu kusapa, langsung nyerocos saja menerangkan dimana kami harus tidur, mandi, peraturan yang harus kami ketahui dan segalanya yang tumpek blek yang tak dapat kuserapi sekaligus. Intinya aku harus tidur bertiga dengan seorang anaknya, tak ada batasan untuk makan yang sekenyang-kenyangnya, kegiatan orangtua asuh yang selalu sibuk dan pulang siang mungkin sore, dan kebiasaan yang sering dilakukan.

Setelah itu kami disuruh beres-beres menaruh barang bawaan kami. Begitu kubuka tirai yang menutupi kamar, dengan agak terkejut kumasuki kamar itu. Kamar itu memang jauh lebih sempit dibanding dengan kamarku di Semarang. Aku akan tidur di atas spring bed, asyiknya. Ternyata di dalam kamar itu juga ada sebuah televisi 14” layar cembung. Sedikit kaget sih.

Aku sudah selesai merapikan barang-barangku. Terdengar suara seseorang, ternyata ibu asuhku sudah datang. Baju LINMAS-nya mengingatkanku pada ibuku. Ternyata beliau bekerja di SD sebagai guru. Kami menyalaminya sambil memperkenalkan diri. Tak beberapa lama kemudian, anaknya datang. Nita, panggilan akrabnya. Dia masih kelas XI di SMK N 5 Kendal, masuk ke jurusan RPL, Rekayasa Perangkat Lunak. Seperti jurusan TKJ di SMK N 7 Semarang.

Hari pertamaku di Sukomangkli ini kulalui dengan bersenang-senang terlebih dahulu. Bersenang-senang dulu, bersusah-susah kemudian, dan bersenang-senang kembali.

Setelah sholat Dzuhur aku memutuskan untuk makan siang. Kali ini kami disuguhi dengan menu spesial, rebung pedas dan ayam goreng. Lumayan juga menunya. Setelah makan dengan lahapnya, aku kembali menuju ke kamar, menyibukkan diri dengan rubik adikku yang sengaja dipinjamkannya kepadaku. Silmi sendiri asyik mambaca novel yang dibawanya, sedang Mbak Nita masih saja sms-an dari tadi.

Di tengah keasyikanku bermain rubik, tiba-tiba ibu asuhku memanggilku. Sedikit kaget, ada gerangan apakah ini ? Ternyata di ruang tamu seorang guru yang sudah sangat kukenal, Pak Ikhwan sudah menungguku sambil berkacak pinggang.

“Wah enak ya!” begitu kalimat yang pertama diucapkan setelah melihatku.

“Enak apanya, Pak ?” jawabku sedikit bingung.

“Halah, rumah kok kayak gedong gini mau live in,” sahut Pak Ikhwan.

“Bagus ya, Shen,” Isti ikut-ikutan memojokkan, “kamu nggak tau apa rumahku, sudah kecil, kasur sempit seukuran anak-anak buat berdua sama Badra.”

“Lho, kan kemarin Pak Ikhwan bilang kalo dapet rumah yang bagus itu kan keberuntungannya. Jadi ya ndak bisa disalahin to, Pak. Kan pembagiannya juga sudah dari sananya,” jawabku terus terang.

Selesai kunjungan Pak Ikhwan, aku pun meminta izin orangtua asuhku untuk pergi bermain. Ingin melihat-lihat daerah ini lebih jauh dan lebih dalam. Gimana ya nasib teman-temanku yang lainnya. Apa sebaik dengan yang kurasakan ? Entah mengapa pikiran itu langsung kubuang jauh-jauh. Jangan membuat iri yang lainnya. Inget !!!

, aku keluar rumah tentu saja juga tak lupa meminta izin dahulu. Bersama Tia dan Siti aku pergi ke kebun karet dekat kuburan. Di sana aku bersama kedua teman-temanku ini saling berfoto-foto ria. Kemudian berputar-putar desa dan balik lagi ke rumah.

Setelah mandi aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Sambil menanti makan malam aku, Silmi, dan Mbak Nita menonton tv di kamar. Asyiknya. Kamarku di Semarang saja tak ada tv-nya.

Makan malam kali ini kami disuguhi dengan rebung pedas, ayam goreng, sayur daun tela, dan tempe gorang. Lumayan juga menunya. Setelah sholat Maghrib, sambil menunggu hujan reda, kami sekeluarga menonton televisi sambil makan tahu goreng dengan sambal terasi.

Sampai pukul 19.00 hujan belum saja reda, dengan nekat aku langsung meminjam payung dan memakai jaketku. Kuterobos jalan yang petang dan hujan itu. Sesampainya di baldes ternyata teman-temanku sudah ramai berdatangan. Waktu ikut bergabung aku masih sedikit canggung. Bagaimana tidak ? Orangtua asuhku kan seorang Carik, sedangkan teman-temanku yang lain ada yang seorang bakul jamu, petani, pembuat krupuk, peternak kambing ataupun sapi. Di hati ini sepertinya ada perasaan yang sedikit mengganjal. Biarkan pikiran itu berlalu. Dengan langkah yang kumantapkan, aku memasuki ruang baldes. Kini terasa sepertinya sudah mulai hangat. Sehangat rasa persahabatan kami.

Sharing malam itu lebih bertema tentang kegiatan pertama yang kami laksanakan, tentang keluarga orang tua yang akan mengasuh kami selama empat hari, dan kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan keesokan harinya. Lumayan seru juga. Sambil menyeruput teh manis yang panas, juga menikmati lunpia dan pukis. Euummm, yummy.

Sekitar pukul 21.30 sharing yang kami laksanakan sudah selesai. Banyak yang ngantuk. Sebelumnya, kami tak lupa untuk berjanji untuk pergi ke Kopel pukul 05.00 besok pagi. Bersama dengan Luthfi, Tia, dan Siti kami pulang menuju rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, ternyata hampir semua orang sudah tertidur. Langsung saja aku membersihkan diri dahulu di kamar mandi dan kemudian menuju ke kamar untuk tidur. Semoga hari esok lebih seru.

NEW EXPERIENCES

Pagi itu aku bangun pukul 05.15, terlambat 15 menit dari waktu yang sudah direncanakan. Aku kali itu memutuskan untuk membatalkan pergi ke Kopel. Ku raih mukenaku, bersiap-siap untuk menunaikan ibadah sholat subuh, walau sepertinya sudah terlambat. Kuambil air wudhlu, kemudian menuju ke ruang sholat, memakai mukena dan sholat subuh kutunaikan.

Selesai menunaikan sholat subuh, kemudian aku berjalan-jalan berputar-putar. Sebenarnya aku juga tidak tahu mau pergi ke mana. Ternyata udaranya masih terasa segar.

Setelah berjalan-jalan sekitar 30 menit, kuputuskan untuk pulang setelah melihat ada bendera kuning yang dikibarkan. Sesampainya di rumah, aku membantu menyapu halaman. Kemudian makan pagi dengan nasi jagung dengan buntil, disertai krupuk Manohara. Enak banget, lho !

Setelah mandi, aku menonton tv di kamar. Lama menunggu orang suruhan Pak Hari datang, akhirnya kami membantu untuk membantu membuat perkedel kentang. Eh, ketika perkedelnya sudah matang semua, kemudian orang suruhan itu datang.

Pak Sugi, begitu sebutannya. Kuambil topi merah live in ku kemudian kami langsung diajak menuju ke sawah. Sawahnya berada sekitar 1 km. Namun pemandangan yang indah tak membuat aku merasa lelah. Sesampainya di sana, kami disuruh memilih memetik jagung atau menyiangi ketela rambat. Enaknya yang mana ya ? Dua-duanya saja ag.

Setelah berunding dengan Silmi akhirnya kami memutuskan untuk memilih kedua-duanya. Pekerjaan kami mulai sekitar pukul 11.00. Kegiatan yang kami lakukan ini ternyata sangat mudah. Hanya terkendala ulat bulu, daun jagung yang sangat gatal, dan rerumputan berduri yang sudah membuatku kesakitan karena menginjaknya dua kali. Maklum aku sengaja untuk bertelanjang kaki karena sandalku penuh dengan lumur dan tanah liat.

Di tengah-tengah masa penyiangan, aku telah menemukan ketela rambat beberapa kali, di antaranya juga ada yang masih kecil dan dimakan tikus jadi kutinggalkan saja. Kali itu aku dapat membawa pulang 5 buah ketela rambat.

Mengetahui ternyata ada sungai kecil di bawah sawah itu, kami memutuskan untuk bermain di sana sambil mencuci sandal dan ketela kami, tentunya setelah meminta izin kepada Pak Sugi.

Jalan menuju ke sungai itu lumayan sulit dan licin. Dengan sabar aku perlahan-lahan menuruni tanah yang curam. Sesampainya di sungai, aku mengukur kedalaman air sungai terlebih dahulu karena di antara kami berdua akulah yang mempunyai postur yang lebih tinggi dan pandai berenang.

Kedalaman air sungai itu hanya setinggi lututku. Arusnyapun juga tak terlalu deras. Setelah memastikan sungai itu lumayan aman untuk digunakan bermain, Silmi kusuruh untuk masuk ke sungai. Pertama-tama aku membersihkan sandalku terlebih dahulu, baru membersihkan ketela-ketela yang sudah kubagi rata dengan si Silmi. Di tengah proses pembersihan ketela, Silmi malah menghanyutkan salah satu ketela miliknya.

“Shena, Shena, tolong ketelanya njebur,”teriaknya agak kalap.

Aku masih bingung. Beberapa detik berlalu dan aku baru ngeh. Kutaruh ketelaku. “Lha kok bisa, eh telaku jagain ya. Jangan sampe hanyut juga lho,’ jawabku.

Aku pun mulai berlari. Terasa kakiku sakit tertusuk-tusuk batu yang tajam di dasar sungai itu. Bersusah payah aku mengejarnya. Sudah 10 meter, tetapi ketela itu masih jauh di sana. Sepertinya aku sudah mulai menyerah. Kayaknya nggak bakal kekejar deh, jauh banget. Cuma ketela doang kok, biarin aja hanyut. Lagian kalo mau nyari lagi paling ntar bakal dapet lebih dari satu.

“Shena, ayo kejar lagi. Bentar lagi nyampe, ayo, berjuang terus. Jangan sampai telanya hilang !” terdengar suara Silmi berkobar-kobar menyemangatiku.

“Ya, bentar lagi sampe kok!” jawabku. Tak enak perasaanku kalau mengecewakan Silmi. Kukerahkan tenagaku, kupusatkan ke arah kedua kakiku. Kupersiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Akhirnya kukeluarkan jurus terbaikku dan dalam waktu kurang dari 5 detik ketela itu sudah berada di tanganku.

“Yeee,,, ketelanya ! Awas ya kamu jangan hanyut lagi,” selorohku. Setelah mendapatkan ketela yang hanyut aku kembali ke tempat semula. Sebuah batu besar yang berada di tengah-tengah sungai. Sambil duduk di atas batu itu, aku melanjutkan untuk membersihkan ketal yang tadi belum selesai kubersihkan. Setalah cukup bersih untuk dibawa pulang, kuputuskan untuk naik ke sawah untuk pulang. Adzan Dzuhur sudah berkumandang.

Sesampainya di atas kami sudah dinanti oleh Pak Sugi. Dan yang paling menyebalkan, kakiku kembali tertusuk duri. Sebel. Kakiku sakit tertusuk-tusuk, karena duri-duri itu berukuran sangat kecil aku sulit untuk mengambilnya. Kakiku terlihat bersimbah darah dan bekas dari luka itu masih terlihat sampai narasi ini dibuat.

Pak Sugi dan Silmi menunggu agak lama karena duri itu tak mau keluar-keluar. Sampai-sampai Pak Sugi tertawa melihat tingkahku yang kesakitan. Rasa kesakitan itu kupendam dalam-dalam, kupakai sandalku dan mulai menyusuri jalan lagi untuk pulang ke rumah.

Jagung yang sudah diambilkan oleh Pak Sugi kuambil dan kupanggul. Kata Silmi sih lebih enak dipanggul jadi ikut-ikutan dong. Sedangkan telanya dibawa oleh Pak Sugi, padahal beliau sudah membawa rerumputan yang banyak sekali, sedikit kasihan juga sih.

Kali itu perjalanan pulang terlihat tak terlalu sulit karena aku sudah mulai mengenal medannya. Sesampainya di jalan kampung, kami bertemu dengan Pak Ikhwan. Nah momen itu (sewaktu aku sedang berjalan membawa jagung) diabadikan di kamera digitalnya. Di seberang jalan terlihat Bayu bersama 3 teman serumahnya. Bayu yang juga melihatku menyuruhku untuk menunggunya. Permintaan itu kupenuhi. Penasaran ingin melihat Bayu memandikan sapi. Sementara Pak Sugi diminta oleh Pak Ikhwan untuk meninggalkan kami.

Selama menunggu rombongan keluarga besar SMA N 3 yang akan meninjau, kami saling bercerita tentang kegiatan yang kami lakukan hari itu, tentu saja kami selingi dengan pembicaraan OSN, mengingat ada 4 orang anak dari kelas Olimpiade dan Mosi kimia, termasuk aku J.

Sudah 20 menit berlalu, sang empunya sapi mulai mengomel karena yang ditunggu-tunggu tidak juga datang. Kelihatannya ada sapi yang mencret. Segera saja Pak Ikhwan sibuk dengan hp-nya menghubungi Pak Soleh yang sedang menuju ke sini. Setelah didesak berkali-kali akhirnya rombongan itu sepakat untuk datang lebih awal. Dan 5 menit kemudian mereka sudah tiba ke tempat yang kami tentukan.

Rombongan itu terdiri dari 3 mobil. Banyak guru yang ikut melihat. Kami sempat berfoto-foto ria terlebih dahulu. Kemudian Pak Arif mereka Bayu dan teman-temannya yang sedang memandikan sapi. Lucunya sewaktu dimandukan, sapi itu mengeluarkan pup sebanyak dua kali dan berhasil mengenai dua orang pula. Kasihan ya.

Setelah dirasa cukup, rombongan itu pun langsung tancap gas menuju ke balai desa. Kami pun juga tak ingin untuk berlama-lama di tempat itu, matahari sudah mulai panas. Saat sapi itu dinaikan dan dituntun ke jalan, sapi itu malah lari dan sang penuntun sapi itu kesulitan untuk mengikuti sapi yang dibawanya. Bayu yang tak mendapat tugas untuk membawa sapi, membantuku untuk membawa jagung. Sesampainya di depan rumah Ghamdan, aku dan dia berfoto terlebih dahulu, baru kemudian melanjutkan perjalanan pulang. Samapi di depan rumahku, aku tak lupa mengucapkan terima kasih kepadanya. Lalu, dia melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah.

PMERH

Setelah membersihkan diri, kutunaikan ibadah sholat Dzuhur terlebih dahulu sebelum makan siang. Kali itu menunya mungkin sedikit nyleneh. Tak seperti soto yang ada di Semarang, kali itu aku makan dengan soto berisi bihun, kol, tauge, yang ditaburi daun seledri yang sudah dipotong kecil-kecil. Kemudian, soto itu dimakan dengan nasi hitam yang sebenarnya berwarna merah tua. Awalnya sedikit enggan untuk memakannya, tetapi setelah kucoba dan kurasakan ternyata lebih enak dan lebih gurih dan soto itu kuhabiskan dengan lahapnya.

Aku tak punya kegiatan yang berarti setelah makan siang. Silmi yang pergi untuk maen ke rumah temannya yang lain membuatku semakin boring. Kebingungan itu terpecahkan setelah aku punya ide untuk membuat bakwan jagung yang rencananya akan kusajikan ketika sharing. Setelah meminta izin, aku kemudian menyibukkan diri untuk memotong-motong butir-butir jagung menjadi lebih kecil, Mbak Nita membantu mengupas dan memotong wortel. Setelah semua bahannya siap, kami mulai mengolahnya.

Bwang putih yang sudah dihaluskan bersama rempah-rempah rahasia lainnya dicampr dengan air dan dimasukkan ke dalam wadah berisi tepung dan jagung. Kemudian sebuah telur kami masukkan, dan adonan itu diaduk dengan rata. Garam dimasukkan. Setelah adonan siap, kunyalakan kompor. Bakwan pun mulai digoreng.

Bakwan yang telah jadi itu berjumlah sekitar 30-an. Mengingat jagung yang digunakan adalah jagung hibrid, kuputuskan untuk membatalkan membawanya untuk acara sharing. Kuajak teman-temanku untuk ke rumah. Sayangnya, tak ada satupun yang mau untuk datang karena sedang asyiknya melihat sapi yang sedang kawin. Gerimis mulai terasa.Akhirnya tanpa membawa seorang temanpun aku kembali ke rumah. Sedikit kecewa sih.

Saat aku sedang sholat Ashar, teman-temanku ternyat menggeruduk rumahku. Jumlahnya mungkin sekitar 20 orang. Di luar sana mereka berteriak-teriak memanggil namaku. Sampai Pak Hari bangun. Cek... cek... cek...

Selesai sholat dan merapikan rukuhku, kuambil bakwan itu dan kubawa keluar. Ternyata hujanlah yang membawa mereka untuk ke rumahku. Cuma sekadar ngiup. Mengetahui ada makanan, mereka saling berebut dan dalam hitungan detik hanyak 5 buah bakwan yang tersisa. Tak tanggung-tanggung, mereka pun langsung meminta minum. Aku yang sedikit bingung, mulai kewalahan. Kubawa mereka langsung ke dapur melalui pintu samping rumah. Awalnya hanya Verdy, Yaris, dan Reza saja yang meminta minum, tetapi dalam hitungan detik seuma temanku itu malah berduyun-duyun ke dapur.

Hujan yang makin deras membuat mereka tetap tinggal di rumahku. Salah satu temanku, meminta izin untuk sholat dan kuizinkan. Kutunjukkan jalannya. Eh, akhirnya mereka semua yang belum sholat ikut sholat di rumahku sampai memenuhi ruang keluarga.

Hal yang paling lucu dan kuingat adalah pada saat Verdy, Reza, dan Yaris sholat. Mereka menggunakan ruang sholat hanya bertiga dan tak membolehkan seorangpun masuk. Lama menunggu mereka yang tak kunjung keluar akhirnya Mbak Nita yang penasaran masuk ke ruang itu. Eh ternyata mereka tidak sholat, tetapi malah bercanda. Akhirnya mereka dimarahi oleh ibu asuhku.

Mereka tak kapok-kapoknya. Malahan yang lebih parah dan menggelikan, Verdi malah menggunakan bawahan rukuh karena tak mendapat jatah sarung. Aku yang melihatnya tak dapat menyembunyikan tawaku. Setelah itu mereka malah berlomba sholat. Pemenangnya Yaris, dan yang kalah adalah Verdy.

Tak hanya numpang makan, minum, dan sholat, temanku pun juga ada yang menyempatkan diri untuk buang hajat. Camelia atau Londom sudah menuntaskan keinginannya, sayangnya Tia yang sudah bilang kepadaku tak jadi mewujudkan keinginannya karena takut ditinggal temanku yang lainnya. Terserah kamu aja deh, ntar kalau malah keluar di jalan bukan salahku lho! He...he...he...


Malamnya seperti malam sebelumnya, aku menjalani kegiatan rutin yang sama. Makan malam, sholat, mengikuti sharing, dan tidur dengan pulasnya. Saat mengikuti sharing, Luthfi sempat menceritakan kegiatan yang dia lakukan dan hal-hal yang ada di rumahnya. Aku menjadi iri. Karena besok adalah hari Senin di mana aku dan Silmi ditinggal oleh semua keluargaku, maka saat itu pula kuputuskan keesokan harinya aku akan ikut Luthfi, walaupun Bayu sudah membujukku untuk ikut bersamanya. Harapannya semoga besok akan berjalan dengan baik dan lancar.

IT’S FANTASTIC !

Keesokan harinya aku bangun kira-kira 15 menit lebih awal daripada hari sebelumnya. Rencanaku untuk ke Kopel sudah bulat. Setelah meminum teh panas, aku bersama Silmi beranjak meninggalkan rumah. Dalam perjalananku aku bertemu dengan Luthfi dan juga Sangaji. Kami kemudian menuju ke Kopel bersama-sama dengan disertai anak X-7 yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Sesampainya di Kopel, pemandangan sunrise sudah terlewatkan, walaupun begitu langit timur itu masih menunjukkan keindahannya. Keberadaan dari anak X Olim yang lainnya tak terlihat. Aku, Luthfi, dan Sangaji memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari teman-teman yang lainnya.

Tujuan kali itu adalah Kali Lumpang. Sebenarnya aku sedikit lupa di mana arah untuk menuju daerah itu. Patokannya SD, begitu kata Mbak Nita. Kami pun bergegas menuju ke SD, dalam perjalanannya kami saling bercanda tak jelas ujungnya. Sewaktu tiba di SD, suasana yang sepi membuat kami mengurungkan niat itu. Kami menunggu teman-teman kami yang lewat setelah Dhewa, teman satu rumah Luthfi yang lewat dan memberi tahu bahwa ada anak dari X Olim yang sedang menjelajahi hutan karet di daerah itu.

Lama menunggunya, setelah orang yang dimaksud lewat, ternyata hanya Gatya, Puput, dan Siti yang mereka maksudkan. Kami pun kembali ke arah sebelumnya, menuju rumah.

PMERH

Setelah membicarakan kegiatan yang akan kami laksanakan hari itu, kami makan pagi terlebih dahulu sebelum berganti pakaian dan menuju ke rumah Luthfi. Sesampainya di rumah Luthfi sekitar pukul 07.30 ternyata mereka sedang memberi makan kelinci di kandhang belakang. Ternyata mereka sudah ditinggal oleh Pak Dipo ke sawah karena pulang main kesiangan.

Sambil menunggu Luthfi dan Dhewa yang akan sarapan, aku bermain bersama balita 2,5 tahun dan seorang bayi berumur 10 bulan yang ada di rumah itu. Lucunya. Selesai makan, sambil membawa tas kecil berisi rantang dan juga kamera digital milik Ghamdan, kami memulai kegiatan hari itu. Manuju ke sawah.

Kami harus melewati areal hutan kebun terlebih dahulu sebelum sampai di sawah. Sekitar pukul 08.00 kami sampai di sawah itu. Di sana terlihat Pak Dipo sedang membajak sawah. Kedua sapi yang beliau tuntun terlihat menurut pada perintah sang majikan.

Kami memberanikan diri untuk mendekat, turun ke sawah. Dhewa terlihat agak jijik dan malas, sedikit berjingkat-jingkat. Dalam hati aku sedikit mengejeknya. Masak cowok takut kotor ? Aku aja nggak takut. Berkali-kali kudengar Dhewa bertanya apakah di situ ada lintahnya atau tidak. Kebangeten, batinku.

Luthfi yantg sedari tadi melihat Pak Dipo membajak mulai terlihat tertarik dan ingin membantu. Aku sebagai jurkam di situ sudah berkali-kali memotret dia saat membajak. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik mengitari areal sawah yang tergolong kecil. Di tengah-tengah keasyikanmembajak sawah, kami didatangi oleh salah seorang teman dari kelas X-7 bersama teman satu rumahnya yang entah kelas XI berapa. Ganang dan Mas Bayu.

Ganang yang sedari tadi melihat juga mulai tertarik untuk mencoba. Mas Bayu hanya berkomentar ria saja sedari tadi. Dari cara mengendalikan sapi, mengapa memakai sapi yang betina saja, dan masih banyakl lagi yang dapat membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Tak lupa dengan acara berfoto ria, Ganang, Luthfi, Dhewa, dan Mas Bayu mulai bernarsis-narsis ria. Saat itu aku ingin mengambil foto yang sedekat-dekatnya dengan sapi. Namun tanpa kusadari, tiba-tiba sapi iku melonjak ke depan hampir menciumku. Aku langsung saja refleks mundur ke belakang hingga tanganku tergores bambu dan berdarah. Luthfi malah lebih parah. Kakinya terkena luku dan mengakibatkan kakinya sedikit membengkak.

Kegegeran itu membuat Pak Dipo datang mendekat ingin mengetahui penyebabnya. Ternyata sapi itu kaget, sayang tak diketahui dan tak dilakukan penyelidikan lebih lanjut tentang penyebab sapi itu menjadi kaget. Peristiwa yang hampir mangakibatkan aku tercium oleh sapi tak mengakibatkan semangat untuk bernarsis ria itu pudar. Kini mereka yang hendak berfoto malah mengajak Pak Dipo untuk ikut serta. Hingga akhirnya dihasilkan sebuah potret maha agung yang sangat indah.

Di sela-sela pemotretan itu, sang sapi jantan yang sedari tadi diletakkan di tempat yang agak jauh dan rindang itu tiba-tiba berteriak. “ Moooooooo.” Kami semua menjadi bingung. Mas Bayu muali berkelakar lagi.

“Wah sapinya cemburu nggak diajak foto.”

“Enggak, sapinya cemburu liatain kamu foto-fotoan sambil dekat-dekat ceweknya,” balas salah satu dari kami.

“Ternyata sapi bisa cemburu juga ya!” selorohku.

Orang tua asuh dari Ganangpun tiba-tiba datang memanggil Ganang dan Mas Bayu untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Syukurin nyaris dimarahin kan! Sambil membawa sabit dan sandalnya yang copot, Ganang bergegas menemui orang tua asuhnya. Sedangkan Mas Bayu masih berleha-leha, jalan santai.

Kepergian mereka berdua membuat areal sawah itu kembali sepi. Silmi yang sedari tadi diam mulai mencoba untuk membajak sawah. Sedangkan aku, Luthfi, dan Dhewa saling bergantian mencangkuli dinding-dinding sawah dan memfotonya. “Aaaaa, apa itu. binatang apa itu ?” teriak Dhewa tak jelas, seperti ketakutan.

“Mana nggak ada hewan apapun kok di sawah,” jawab Luthfi.

Aku yang sedang mencangkul hanya mendengarkan saja.

“Itu yang putih-putih kemampul!” jawab Dhewa masih ketakutan.

Perasaan yang ada tu kuning-kunging kemampul, kok sekarang malah jadinya putih-putih kemampul sih ? batinku.

“Alah biarin aja. Kan nggak nggigit kamu,” jawab Luthfi enteng.

“Eh, itu binatang apa sih ?” Dhewa mulai beralih bertanya kepadaku.

Aku yang sedari tadi berkonsentrasi dan memfokuskan diri mencangkuli tanah di dingging sawah mulai mengalihkan perhatian. “Yang mana to ? Nggak kelihatan,” jawabku tak kalah entengnya.

“Itu lho, yang itu. Cepetan deketin,” jawabnya sambil menunjuk-nunjuk benda yang dimaksud. Terdengar dia agak memaksa.

Kuturuti permintaannya. “Nggak tahu. Sepertinya Cuma buih, tapi kok empuk-empuk gini kayak di dalemnya ada udaranya,” jawabku,”Pik, sini, apaan coba ini,” pintaku kepada Luthfi. Kali ini dia beranjak dari tempatnya.

“Paling cuma buih doang, nggak pa-pa kok,” jawabnya sambil menekan-nekan benda itu menggunakan batang. Seperti tak puas, dia menekan-nekannya dengan tangannya sendiri.

“Nggak pa-pa. Ini aman kok,” katanya seolah tertuju kepada Dhewa sambil mengangkat benda itu dan menimang-nimang di tangannya.

Bosan mengurusi benda itu, Luthfi dan Dhewa malah mulai bermain lempar-lemparan lumpur. Dasar !!! Aku yang tak ingin pakaian ini kotor membiarkan mereka berdua sibuk sendiri. Aku menepi ke daerah yang lebih teduh sambil mengurusi tanganku yang tadi berdarah. Saat bermain lempar-lemparan, aku sempat melihat Dhewa memegang benda putih tadi yang sempat dilempar Luthfi. Dia yang kaget sudah memegang benda itu langsung melemparnya. Dia tiba-tiba mengambil batu yang lebih besar. Kupikir dia akan melempar si Luthfi dengan batu yang lumayang besar itu, eh ternyata dia malah menggunakan batu itu untuk menghancurkan benda putih itu. Aku mulai terkekeh-kekeh. Dhewa,.... Dhewa,....

Pak Dipo yang sedari tadi membajak menyuruh kami untuk bergegas pulang karena sudah siang. Kami juga menyetujuinya karena aku sendiri juga sudah sangat capai. Capai tertawa melihat lawakan mereka.

Perjalanan pulang itu aku hampir saja menghanyutkan sandalku ketika melewati kali kecil. Saat itu, si Luthfi sempat-sempatnya izin untuk buang air kecil. Aku yang tak ingin mengganggunya langsung meningalkannya. Kenapa sih nggak nunggu sampai di rumah ? pikirku.

Sesampainya menganar Luthfi dan Dhewa pulang ke rumah. Aku dan Silmi langsung pulang. Rumahku saat itu masih dalam keadaan tertutup rapat. Tak ada orang di rumah. Jadi, kami leluasa. Selesai membersihkan diri aku mencuci pakaianku yang kotor. Kemudian aku makan siang dan akhirnya pergi ke Pabrik Karet sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.

Sepulangnya dari Pabrik Karet, aku sekelas pergi ke Lapangan Bola, melihat anak kelas kami latihan perdana melawan X-7 sebelum bertanding di Ligasha. Sayangnya, pertandingan berjalan tak imbang. Kami, penonton yang semula sebagai pen-suport mulai bosan dan memutuskan untuk bermain teplok nyamuk. Aku kembali didaulat menjadi jurkamnya. Seru sih!!

Kami bubar sekitar pukul 16.30 dan aku langsung pulang menuju rumah tanpa mapir-mampir lagi. Ternyata sesampainya di rumah Silmi masih pergi main. Aku yang mulai bosan malah diajak Mbak Nita pergi membeli bakso di daerah Depok.

Ajakan itu tak kutolak. Dengan mengendarai motor, kami menuju ke daerah tersebut dan makan bakso sepuasnya di sana. Setelah menghabiskan Rp 16.000,- kami memesan sebiuah bakso balungan yang dibungkus yang rencananya akan kami berikan kepada Silmi.

Pertku terasa sangat kenyang. Sampai di rumah aku langsung mandi kemudian sholat. Akhirnya aku langsung pergi untuk sharing. Acara sharing kali itu terasa agak berbeda. Kali itu diadakan di rumah orang tua asuh dari Mahardika atau Slim. Dia yang sedang bermain kartu remi terlihat kaget setelah melihat kedatangan rombongan keas X Olim yang akan mengadakan sharing di rumahnya.

Acara sharing kali itu berteme tentang perjuangan hidup dari orangtua asuh Slim tak lupa makan-makan juga. Selesai sharing kami yang berniat pulang mulai takut. Apalagi stelah Gatya berteriak kalua ada penampakan. Ternyat yang dimaksud hanyalah anak kelas XI Olim yang sedang berjongkok di antara tumbuhan yang ada di pekarangan itu sambil menyorotkan senter ke mukanya. Kasian deh ketipu.

Sesampainya di rumah aku langsung tidur tanpa menunggu Silmi pulang. Terlelap begitu saja karena kecapaian.

GOOD BYE,

Hari terakhir aku berada di Sukomangkli berlalu biasa-biasa saja. Setelah membantu membersihkan rumah, mandi dan makan pagi bersama, kami sempat bercerita sebentar. Pukul tujuh sebelum aku meninggalkan rumah itu, kuserahkan kenang-kenangan kepada Pak Hari. Kemudian kami berangkat ke baldes. Ternyata di sana belum ada seorangpun yang datang. Dulu dijemput terakhir, sekarang datang paling awal.

Setelah upacara pelepasan di baldes dan penyerahan kenang-kenangan, kami langsung bersalam-salaman dengan para warga sukomangkli. Alu berhambur menuju ke bus. Kali itu bus terasa lebih sesak daripada waktu pemberangkatan. Oleh-oleh dari Sukomangkli dan juga tambahan peserta membuat aku pusing setengah mati. Dan yang lebih parah, Pak Ikhwan membatalkan acara perpisahan di Kecamatan Patean, sehingga kami pun harus berdesak-desakan pulang ke Semarang.

Perjalanan itu untungnya dapat ditempuh dalam waktu yang relatif singkat. Dua setengah jam. Sekitar pukul 10.30 kami sampai di sekolah dan yang dapat kuingat aku hampir muntah dalam perjalanan pulang ini.

0 komentar:

Post a Comment