Malam Sharing Pertama

Keindahan Kopel

Kegiatan Hari Kedua

Hari Pertama di Desa

Pages

Narasi Nova Soraya

2/22/10


Yeah! Live in! Suatu acara yang sudah kutunggu-tunggu sejak pertama kali aku masuk dan bersekolah di SMA 3 Semarang dan hari ini adalah hari keberangkatan live inku. Hari yang sudah kutunggu-tunggu, tapi akhir-akhir ini aku merasa takut. Aku merasa takut mengalami perpisahaan dengan live in 4 hari lagi dan harus kembali berkutat dengan sekolah.

Tapi, mau bagaimana lagi, aku meyakinkan diriku bahwa aku akan mendapat banyak pengalaman menyenangkan nantinya setelah live in dan setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan?

Bangun pukul 5 lebih sedikit pagi ini, aku belum sepenuhnya bisa membuka mataku karena aku masih terlalu capek setelah melakukan packing kemarin malam. Walaupun hanya packing, tetapi aku cukup lelah karena harus mondar-mandir mengumpulkan dan menata semua barang yang akan aku bawa. Hari ini rencananya semua peserta live in harus datang ke sekolah kurang dari jam setengah 7. Setelah melakukan semua ritual persiapan sebelum berangkat dan berkumpul di SMA 3, akupun berpamitan dengan orang tuaku. Mereka tidak henti-hentinya berpesan agar aku tidak menjadikan diriku seorang tamu yang harus dilayani di sana karena hal itu sangat menyimpang dari tujuan live in sebenarnya. Akupun berangkat dari rumah sekitar pukul 05.45.
Sesampainya di SMA 3, ternyata sudah banyak anak SMA 3 peserta live in yang datang.

Kebanyakan dari mereka membawa tas / koper yang tidak begitu besar, jadinya aku merasa sedikit malu karena aku baru sadar kalau koper yang kubawa itu ukurannya terlalu besar. Sewaktu tiba di sana, bis no. 13 yang ditumpangi kelasku, X-Olimpiade ternyata belum datang. Sambil menunggu bis tersebut datang, kamipun mengabadikan momen-momen sebelum berangkat ini dengan foto-foto bersama. Setelah diberitahu melalui mikrofon kalau kami bisa meletakkan tas kami di dalam bis, kami pun segera berjalan sambil membawa barang-barang bawaan kami. Setelah bersusah payah memperebutkan kursi di dalam bis, kami juga masih harus bersusah payah menata tas-tas dan barang-barang bawaan kami lainnya.

Ternyata bis itu terlalu kecil untuk menampung 31 anak olimpiade ditambah dengan barang-barang bawaan mereka. Apalagi jika sesuai dengan rencana, nantinya bis tersebut akan ditambah dengan 7 orang kelas XI susulan + barang-barang bawaan mereka. Aku tidak sanggup untuk membayangkan bagaimana nanti jadinya.

Beberapa menit kemudian, kamipun akhirnya bisa menata semua tas dan koper di dalam bis. Setelah itu, kami kembali turun untuk mengikuti apel keberangkatan. Kami juga dibagi satu per satu topi live in berwarna merah yang bertuliskan ”LIVE IN SMA 3 SEMARANG TH. 2009 / 2010” di sebelah kanan dan di sebelah kiri bertuliskan ”KECAMATAN PATEAN KAB. KENDAL. Sambil menunggu persiapan untuk apel keberangkatan, kami kembali mengabadikan momen-momen menunggu apel keberangkatan tersebut dengan berfoto – foto ria. Tidak lama kemudian, semua guru dan petugas apel terlihat sudah siap. Kamipun langsung baris di belakang papan nama kelas kami. Sewaktu apel keberangkatan, aku memilih barisan paling depan karena aku ingin mendapat kesempatan untuk bisa memotret tanpa halangan saat apel tersebut berlangsung.

Apel tersebut hanya berlangsung sekitar 15 menit. Setelah apel tersebut selesai, kami diberitahu untuk bisa kembali ke dalam bis masing-masing dan bis yang sudah komplit siswanya bisa berangkat terlebih dahulu. Ketika semua anak X-olimpiade mulai memasuki bis, terjadi keributan lagi, karena ada beberapa koper yang di tata di tengah – tengah bis sehingga kami tidak bisa lewat di dalam bis tersebut. Tetapi, akhirnya kamipun bisa mengatasi masalah tersebut. Setelah semuanya duduk, walaupun ada yang hanya duduk di atas koper, dan semua anak yang seharusnya berada di bis 13 telah komplit, bis kamipun akhirnya berangkat.

Rencananya, kami akan menuju ke kecamatan Patean terlebih dahulu sebelum akhirnya ke desa Sukomangli untuk mengikuti apel penyambutan.

Perjalanan menuju ke Kecamatan Patean tidak terlalu berkesan karena pemandangan yang terlihat biasa saja, seperti pemandangan di perkotaan umumnya walaupun sudah memasuki kabupaten dan kota Kendal. Sekitar satu setengah jam kemudian, kamipun tiba di kecamatan Patean. Ternyata sudah banyak rombongan-rombongan lain yang sudah tiba. Setelah turun dari bis, udaranya langsung terasa dingin, padahal saat itu masih siang hari.

Saat menunggu untuk persiapan apel penyambutannya terasa cukup lama dan membosankan karena aku merasa sangat mengantuk. Tetapi, akhirnya apel itupun dimulai. Apel itu berlangsung cukup sebentar, sekitar 15 menit. Sejujurnya, saya tidak mengetahui apa saja yang terjadi saat apel tersebut karena seperti yang sudah saya katakan tadi, saya merasa sangat mengantuk saat itu. Setelah apel itu selesai, kami semua kembali ke dalam bis.

Di dalam bis suasananya semakin parah setelah bis tersebut ditambah dengan anak XI sususlan. Bahkan ada beberapa anak yang nekat duduk di atas sandaran kursi. Alhasil, udaranya tambah panas dan pengap serta suasananya semakin ramai. Dalam perjalanan menuju ke desa Sukomangli, pemandangan yang terlihat di sebelah kanan dan kiri jalan sungguh luar biasa indahnya. Aku bisa melihat hutan-hutan, sungai-sungai, pegunungan, dsb.

Jalannya pun naik turun dan berkelok-kelok membuat beberapa temanku merasa pusing. Akupun berharap kalau di desa Sukomangli pemandangannya juga seindah itu. Sepanjang perjalanan, aku terus merasa dag-dig-dug dan penasaran memikirkan bagaimana orang tua asuhku, rumah yang akan kutempati, dan bagaimana aku bisa menjadi tukang jamu. Pikiran-pikiran aneh dan konyol mulai melintas. Kemudian, setelah kurang lebih dua jam kemudian, kami pun sampai di balai desa Sukomangli.

Saat itu, di balai desa Sukomangli sudah banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang menunggu di sekeliling balai desa. Setelah semua anak X-olimpiade, X-7, dan seluruh calon orang tua asuh berkumpul di dalam balai desa, orang tua asuh tersebut maju satu persatu untuk dipertemukan dengan anak asuhnya. Perasaan dag-dig-dug itu semakin terasa. Tidak lama kemudian, namaku pun dipanggil dan akhirnya aku bertemu dengan orang tua asuh serta pasangan satu rumahku, Lolita dari X-7. Aku kaget sekali karena ternyata ibu asuhku masih sangat muda.

Setelah bersalaman dengannya, akupun segera mengambil koperku dan mengikuti ibu tersebut. Di luar balai desa, aku baru diberitahu kalau ternyata aku serumah, sekamar, dan seranjang dengan Shita (teman sekelasku) dan Rachma dari X-7. Aku senang sekali karena bisa serumah berempat. Padahal seingatku nama ibu asuh kami berbeda. Ternyata ibu asuhnya Shita itu anaknya ibu asuhku yang tinggalnya serumah.

Setelah diberi penjelasan singkat tersebut, kamipun mengikuti ibu Muryati menuju ke rumahnya. Jalan yang kami lalui itu jalannya berbatu-batu dan naik-turun sehingga aku terpaksa mengangkat koperku. Letak rumahnya pun cukup jauh dari balai desa dan juga cukup ”mbulusuk-mblusuk”. Sesampainya di rumah yang akan kami tempati, aku kaget bukan kepalang. Rumahnya itu bisa dibilang bagus jika mengingat apa tujuan live in sebenarnya. Lantainya berkeramik, ada TV, DVD player, dsb. Kamar mandinya pun jumlahnya 2 buah dan berkeramik semua. Akupun bersyukur atas rumah yang akan kutempati ini karena rumah tersebut sangat jauh dari perkiraanku. Aku berpikir kalau rumah yang akan ditempati untuk live in itu semuanya tidak berkeramik, kamar mandinya bisa di atas sungai / kali. Tapi, ternyata kenyataannya sangat jauh berbeda.

Setelah diberitahu kamar tidur kami berempat, kami pun berbincang-bincang sebentar dengan bu Muryati dan berkenalan dengan bu Klimah, ibu asuhku sebenarnya. Kami juga diperkenalkan dengan suami bu Klimah, suami bu Muryati, dua adik bu Muryati, dan satu anak bu Muryati. Jika dijumlahkan semuanya, jumlah orang yang menempati rumah itu ditambah kami berempat menjadi 11 orang. Terlalu banyak, bukan? Ketika keluar rumah sebentar, aku baru tahu kalau depan rumahku adalah rumahnya Isti dan samping rumahku adalah rumah Kum-kum. Aku menjadi tambah senang karena ada rumah temanku yang letaknya dekat.

Setelah berganti baju, kami berempat pun membantu bu Muryati memasak. Saat memasak, kami berempat pun terlihat kalau tidak biasa memasak. Apalagi Shita yang sudah terbiasa hidup sebagai anak kos-kosan dan hanya mengandalkan makanan-makanan instan saja. Tetapi, paling tidak sekarang kami sekalian belajar memasak. Setelah masakannya matang, kami pun makan bersama dan merasa puas dengan hasil masakan kami. Setelah kenyang, aku dan Rachma sholat dhuhur bergantian. Setelah itu sekitar pukul 2 siang, kami berempat izin kepada bu Muryati untuk pergi berjalan-jalan sebentar.

Di tengah jalan, aku bertemu dengan teman-temanku yang lain yang juga sedang jalan-jalan tanpa tujuan. Bella pun akhirnya mengajak kami ke hutan karet yang katanya sangat bagus. Ketika kami ke sana, Subhanallah, hutan karetnya memang luar biasa indahnya. Hal yang pertama kami lakukan pastinya berfoto-foto. Untung saja saat itu aku membawa kamera digital. Kami pun berfoto-foto sebanyak mungkin. Karena hujan mulai turun, kami pun pulang. Saat itu aku sangat senang karena suasana di desa Sukomangli sangat tidak mengecewakan.

Setelah kami pulang dari jalan-jalan, rasa kantuk mulai menyerangku lagi. Sekitar pukul 3, aku pun tidur dan minta teman-teman membangunkanku sekitar pukul 4 nanti karena katanya teman-teman laki-laki kami ingin bermain futsal sebagai latihan untuk ligasha. Ketika aku bangun ternyata sudah pukul setengah lima dan di luar hujan deras. Aku pun lega karena pastinya teman-teman tidak jadi berlatih futsal jika hujan deras. Setelah bangun, aku berusaha menguatkan diriku untuk mandi karena katanya bu Muryati airnya sangat dingin.

Ketika aku mandi, airnya memang sangat dingin, tapi aku sedang sangat ingin mandi. Alhasil, setelah mandi, aku merasa sangat kedinginan. Setelah itu, akupun sholat ashar. Kemudian, kami semua membantu bu Muryati menyiapkan makan malam. Setelah makan malam, kami pun meminta izin kepada seluruh orang yang ada di rumah untuk pergi ke balai desa guna mengikuti kegiatan sharing.

Ketika keluar rumah, hawa dingin langsung menusuk kulitku dan ternyata masih hujan deras. Sebelum ke balai desa, kami berempat menghampiri Isti dan Audi. Saat menunggu mereka, aku merasa tambah kedinginan sampai-sampai tangan dan bibirku bergetar semua. Walaupun sudah memakai jaket dan kaos lengan panjang, udaranya tetap terasa sangat dingin. Selain itu, jalan di sekitar rumah kami pun sangat gelap. Hal ini benar-benar menunjukan perbedaan antara suasana pedesaan dan perkotaan. Kemudian kami berempat segera pergi ke masjid yang letaknya tidak jauh untuk sholat magrib. Setelah itu, kami segera pergi ke balai desa karena sudah tidak tahan dengan hawa dingin yang semakin menusuk kulit.

Sesampainya di balai desa, kami pun sangat bersemangat menceritakan bagaimana kondisi rumah kami dan cerita-cerita lainnya. Kebanyakan teman-temanku juga mendapat rumah yang berkeramik dan terlalu bagus untuk dijadikan tempat live in. Ketika sharing dimulai, kami diminta menceritakan apa yang telah kami kerjakan hari ini dan juga apa yang akan kami kerjakan besok. Banyak teman-temanku yang mengalami hal-hal yang sangat lucu hari ini. Aku sadar hal seperti ini akan sangat kurindukan, saat kebersamaanku bersama teman-temanku, saat kami semua bisa tertawa bahagia tanpa memikirkan sesuatu apapun tentang sekolah, dan saat kami semua benar-benar merasa kalau kami ini adalah satu keluarga.

Sharing malam ini berlangsung sampai pukul setengah sepuluh. Karena kami sudah mengantuk, kami pun pulang ke rumah masing-masing dan berjanji untuk pergi ke suatu tempat bernama Couple untuk melihat sunrise. Sesampainya di rumah, aku langsung sholat isya dan tidur. Jujur saja, ranjang yang kami tempati terlalu sempit untuk kami berempat, tapi mau bagaimana lagi. Sisi positifnya kami tidak terlalu merasa kedinginan dengan posisi tidur kami yang berdempet-dempetan. Kami pun tidur nyenyak dan berharap hari esok akan menjadi lebih menyenangkan.

Minggu, 17 Januari 2010
Sekitar pukul 05.00, aku sudah bangun. Aku langsung mengirim sms ke Audi jadi atau tidak pergi ke Couple. Kemudian, dia menjawab jadi. Aku pun membangunkan Shita, Rachma, dan Lolita. Setelah sholat shubuh, aku dan Shita menggosok gigi di luar karena kami tidak tahu bagaimana cara menghidupkan lampu kamar mandi sedangkan orang-orang rumah lainnya belum ada yang bangun. Di luar ternyata Audi dan teman satu rumahnya sudah menunggu. Setelah selesai, kami meminta izin bu Klimah untuk pergi ke Couple sebentar. Sebelumnya, kami masih harus menghampiri Isti, Bela, Winda, Lisa dan teman – teman lainnya yang rumahnya cukup dekat dengan rumah kami. Sesampainya di balai desa ternyata teman-teman kami yang lainnya sudah meninggalkan kami dan sampai di Couple. Alhasil hari itu kami tidak jadi pergi ke Couple dan jujur aku merasa cukup kecewa dan jengkel terhadap mereka. Aku dan Shita pun memutuskan kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku kaget karena ternyata Rachma dan Lolita sedang membantu bu Klimah membuat jamu. Kami membuat jamu beras kencur, kunir asem, dan juga sirih. Sebenarnya saat menumbuk bahan-bahan untuk jamu, tanganku terasa sangat pegal karena penumbuknya terlalu berat dan besar serta bahan-bahan untuk jamu tersebut sangat susah dan lama untuk dihaluskan. Aku juga ikut memeras kunyit sehingga telapak tanganku berubah menjadi kuning dan itu bisa menjadi bukti autentik bahwa kita berempat telah membuat jamu. Setelah jamunya jadi semua, kami berempat mandi bergantian. Setelah itu, kami membantu bu Muryati memasak makanan untuk makan pagi.

Sekitar pukul setengah 9 pagi, kami berempat dan bu Muryati sudah siap berjualan jamu. Hari itu hanya bu Muryati yang akan berjualan jamu karena bu Klimah sedang berduka cita. Ada salah satu saudaranya yang baru saja meninggal dunia. Rencananya kami hari ini hanya akan berjualan keliling desa Sukomangli.

Tentu saja kami juga akan memaksa teman-teman kami untuk membeli jamu kami. Kami pun memulai berjualan dari rumah ke rumah. Setiap teman kami yang kami jumpai pasti agak sedikit kami paksa untuk membeli jamu dan akhirnya mereka pun membeli juga. Di tengah perjalanan saat menjual jamu, kami bertemu dengan Dian, Tita dan teman serumah mereka. Mereka berkata bahwa mereka sedang tidak ada kerjaan.

Akhirnya mereka pun ikut berjualan jamu keliling desa. Saat berjualan jamu di daerah RT. 06, kami bertemu dengan sekelompok anak kecil. Kami pun akhirnya bermain-main dengan anak-anak kecil tersebut sambil berjualan jamu. Kami pun sempat berfoto-foto juga dengan anak-anak kecil tersebut. Setelah selesai berjualan di Rt. 06, kami melanjutkan ke Rt lain yang belum kami kunjungi, tetapi anak-anak kecil itu malah mengikuti kami. Jadi, jika ditotal, orang yang ikut berjualan jamu saat itu ada 11 orang ditambah bu Muryati.

Setelah sebagian besar botol jamu sudah kosong, kami berdelapan baru mulai bergantian menggendong jamu. Saat aku menggendong jamu, aku selalu merasa jamu yang kugendong itu goyang-goyang dan hampir jatuh, padahal sebenarnya tidak. Jadi, saat berjalan sambil menggendong jamu, aku selalu berjalan dengan menundukkan kepala melihat ke bawah dan berjalan sangat lambat. Selain itu sebenarnya saat aku menggendong jamu, pundakku terasa pegal sekali padahal menggendong jamunya cuma sebentar. Jadi, belum-belum tangan dan pundakku sudah pegel semua. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bu Muryati dan bu Klimah bisa dan kuat melakukan ini setiap hari.

Sekitar pukul setengah sebelas, botol jamunya sudah kosong semua kecuali botol yang berisi jamu pahitan. Kemudian kami memutuskan untuk pulang karena sudah siang. Dalam perjalanan pulang, kami bertemu dengan pak Ikhwan. Pak Ikhwan pun bertanya apakah jamunya masih atau tidak. Karena kami menjawab kalau jamunya sudah haabis tinggal jamu pahitan saja, alhasil pak Ikhwan meminta tolong bu Muryati untuk membuat jamu lagi setelah ini untuk disuguhkan kepada kepala sekolah yang akan datang sekitar pukul 1 siang.

Setelah sampai di rumah dan berpisah dengan teman-teman serta anak kecil yang ikut berjualan jamu tadi, kami pun istirahat sebentar. Setelah itu kami membantu bu Muryati menyiapkan makan siang. Setelah makanan siap dan lagi-lagi kami merasa bangga bisa menyiapkan makanan sendiri, kami pun makan siang. Kemudian aku dan Raachma segera sholat dhuhur. Setelah perut terasa kenyang dan tenaga pulih kembali, aku dengan Shita, Rachma, dan Lolita pun kembali membantu bu Klimah membuat jamu pesanan pak Ikhwan tadi. Pegal-pegal di tangan yang belum hilang akhirnya malah menjadi lebih pegal lagi. Tapi mau bagaimana lagi. Aku pun pasrah-pasrah saja.

Sekitar pukul 01.00 jamu-jamu yang dipesan pak Ikhwan sudah jadi. Karena pak Ikhwan hanya berkata bahwa jamu tersebut untuk disuguhkan kepada pak Hari Waluyo, maka kami pun hanya membuat 1 botol beras kencur dan 1 botol kunir asem. Setelah aku, Shita, Rachma, dan Lolita siap berjualan jamu lagi, kami pun akhirnya pergi bersama-sama tanpa bu Muryati ke rumah yang di tempati pak Ikhwan. Di sana lagi-lagi aku dikagetkan oleh hal yang tak terduga. Di depan rumah yang ditempati pak Ikhwan ada mobil SMA 3 dan ternyata tidak cuma pak Hari yang berkunjung ke sana, tetapi juga ada banyak guru yang mungkin jumlahnya semobil.

Aku bingung. Ketika menjuali jamu di sana, aku merasa dipermainkan oleh guru-guru tersebut. Ada yang pesan jamu antikere, awet nom, jamu langsing, antimlarat, dsb. Guru-guru itu pun membeli jamu berebut-rebutan, sampai-sampai kami berempat bingung mana yang lebih dulu dan apa jamu yang dipesan. Ketika kami bingung, guru-guru itu malah tertawa. Tapi, karena memang dasarnya kami belum terbiasa berjualan jamu, kami lupa membawa serbet untuk mengelap gelasnya.

Kami pun kebingungan bagaimana mengelap gelasnya padahal guru-guru sudah pada memesan jamu. Akhirnya tanpa menghiraukan rasa malu yang muncul, kami pun meminjam serbet di sana. Selain itu, kami juga merasa benar-benar malu karena cara mencuci gelas kami itu tidak benar. Salah satu dari guru tersebut yang malah mengajari kami bagaimana cara mencucinya. Melihat kami tidak bisa mencuci dengan benar, lagi-lagi kami ditertawakan oleh guru-guru tersebut. Lagi-lagi malu, malu, dan malu.

Tujuan utama kami adalah menyuguhkan jamu untuk pak Hari, tetapi pak Hari malah hanya meminum jamu beras kencur setengah gelas. Sedangkan jamu-jamu yang lainnya dihabiskan oleh guru-guru yang lain. Setelah jamu yang kami jual tinggal sedikit beras kencur saja, kami pun berpamitan pulang. Di tengah perjalanan pulang, lagi-lagi kami bertemu pak Ikhwan.

Pak Ikhwan ternyata belum mencicipi jamu kami. Untung saja masih ada beras kencur yang pas untuk satu gelas. Pak Ikhwan pun akhirnya membeli beras kencur tersebut. Hasil penjualan jamu kami untuk guru-guru tersebut sejumlah Rp 13.000,00. Sedangkan hasil penjualan jamu kami saat berkeliling desa sekitar Rp 40.000,00. Jadi sisi positif yang bisa didapat dari rasa malu kami dan pegal-pegal kami adalah kami bisa memberikan hasil penjualan jamu kepada bu Mur dan bu Klimah yang lebih banyak dari pada biasanya.

Setelah pulang dan sampai di rumah, kami pun sholat dhuhur dan istirahat dengan duduk-duduk sebentar di depan rumah. Setelah itu, kami meminta izin lagi kepada bu Mur dan bu Klimah untuk berjalan-jalan sebentar. Saat berjalan-jalan tanpa tujuan, kami melihat ada ramai-ramai di depan rumah Bayu. Kami pun kesana. Ternyata banyak juga teman-teman lain yang di sana. Ternyata mereka semua sedang malihat ”sapi kawin”.

Hmmm.. melihat sapi kawin. Pengalaman yang lumayan juga. Tapi, sebaiknya tak usah dijelaskan lebih rinci lagi mengenai bagaimana prosesnya. Banyak teman saya yang memotret kejadian tersebut. Tapi, mungkin karena dilihat terlalu banyak orang, proses perkawinan sapi itupun tidak berhaasil-berhasil.

Setelah puas melihat sapi kawin yang tidak berhasil-berhasil tersebut, aku dan teman-temanku jalan-jalan tanpa tujuan. Aku dan teman-temanku pergi manghampiri teman lain yang masih ada di rumah. Setelah itu, kami pun pergi ke lapangan. Lapangan itu sungguh luas dan luar biasa indahnya. Di sebelah kanan lapangan tersebut terdapat kuburan yang bagus karena memiliki banyak pohon-pohon yang berwarna putih. Di sekeliling lapangan hanya terlihat hutan-hutan / kebun karet. Karena hujan rintik-rintik mulai turun dan hari sudah terlalu sore, kami pun memutuskan untuk pulang.

Sesampainya di rumah, aku, Shita, Rachma, dan Lolita bergantian mandi sambil membantu bu Mur masak untuk makan malam. Setelah semuanya sudah mandi dan makan malam sudah siap, kami pun segera makan. Setelah itu aku dan Rachma bergantian sholat magrib. Kemudian kami melakukan ritual wajib kami setiap malam, yaitu sharing di balai desa. Kami pun meminta izin terlebih dahulu kepada orang-orang yang ada di rumah. Sebelum kami pergi ke balai desa, seperti biasanya kami menghampiri rumah Audi dan rumah Isti untuk mengajak mereka berangkat bersama ke balai desa.

Malam sharing kedua terlihat tidak seseru dan sesemangat malam sharing pertama. Hal ini mungkin disebabkan karena semuanya sudah capek sehabis bekerja seharian. Tetapi, masih cukup serulah paling tidak. Malam ini pak Ikhwan membatasi jam 9 harus sudah pulang sehingga tidak semua anak bisa kebagian jatah sharing. Pak Ikhwan juga berkata bahwa besok akan diadakan satu rangkaian acara baru, yaitu tur ke pabrik karet karena salah satu keunggulan dari Sukomangli adalah karet. Tur ini akan dilakukan pukul 01.00 siang. Selain itu, pak Ikhwan mengatakan bahwa malam sharing terakhir akan didatangkan seorang tokoh. Tapi, pak Ikhwan belum mau memberitahu siapa tokoh tersebut. Saat sharing pak Ikhwan juga berpesan jangan melakukan hal-hal aneh khususnya di hari-hari terakhir.

Setelah jam menunjukkan pukul 9 lebih, kami pun dipersilahkan untuk kembali ke rumah masing-masing. Kami juga berjanji untuk pergi ke suatu tempat yang bernama Luwung-Luwung untuk melihat sunrise besok pagi-pagi sekali. Sesampainya dirumah, kami pun malah berbincang-bincang terlebih dahulu dengan bu Klimah yang sedang menonton TV. Kami mulai menanyakan mitos-mitos apa saja yang beredar di Sukomangli tetapi, bu Klimah tetap dan selalu berkata tidak ada apa-apa. Lama kelamaan rasa kantuk mulai menyerang kami. Kami pun minta izin kepada bu Klimah untuk bisa pergi tidur. Setelah itu kami pun tidur dengan sangat nyenyak dan berharap besok sebagai hari terakhir kerja bisa memiliki pengalaman yang lebih mengesankan daripada hari ini.

Senin, 18 Januari 2010

Pada pukul 04.30, Shita membangunkanku. Setelah itu, aku mengirim sms kepada Bela dan Audi jadi pergi ke Luwung ato tidak. Mereka menjawab jadi. Aku pun langsung membangunkan kedua temanku yang lainnya, sholat subuh, kemudian menggosok gigi dengan Shita di luar rumah. Setelah aku, Shita, Audi, dan Isti sudah kumpul, kami langsung pergi ke balai desa. Tetapi, di perjalanan kami juga menghampiri setiap rumah teman kami lainnya untuk mengajak jadi ikut ke Luwung atau tidak. Kami mengetuk-ketuk pintu rumah mereka padahal itu masih jam 5 pagi dan kebanyakan dari rumah mereka pintunya masih tertutup dan lampu rumahnya belum menyala. Bela ternyata sudah menghampiri rumah teman-teman kami yang berada di sekitar Rt. 02 dan Rt.03. Kami pun menunggu cukup lama di balai desa dan takut kalau kami akan ketinggalan melihat sunrise. Sekitar pukul 05.15, akhirnya mereka semua muncul juga di balai desa. Kami pun segera bergegas ke Luwung-Luwung.

Sesampainya di Luwung-Luwung aku bisa tertakjub-takjub melihat apa yang kulihat. Hamparan pegunungan dengan langit biru yang bersemburat-semburat oranye. Ternyata kami belum terlalu telat untuk melihat sunrise. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hamparan hijau saja. Kami pun berfoto-foto di sana. Kami juga berteriak-teriak sekeras mungkin karena di bawah kami tidak ada rumah penduduk. Seperti yang kukatakan tadi, yang terlihat hanya hamparan hijau saja. Setelah puas berteriak-teriak dan berfoto-foto dengan berbagai pose, kami pun memutuskan untuk pulang karena sudah waktunya bagi kami untuk membantu orang tua asuh masing-masing. Di dalam perjalanan pulang, kami malah bertemu dengan Dyan, salah seorang teman kami yang menjual gorengan. Kami pun membeli gorengan tersebut karena kami semua lapar, tetapi kami tidak membawa uang. Akhirnya, kami semua pun dibayari oleh Irham.

Di rumah, ternyata bu Klimah sudah membuat jamu sirih dan beras kencur dengan dibantu oleh bapak. Ketika melihat hal tersebut aku jadi merasa tidak enak karena tidak membantu mereka, tetapi malah jalan-jalan bersama teman-teman. Aku dan Shita pun segera membantu bu Klimah. Kami segera membantu menumbuk bahan-bahan jamu tersebut dan tanganku mulai terasa pegal-pegal lagi. Tapi tak apalah, paling tidak bisa dijadikan pengalaman membuat jamu.

Tidak lama kemudian Rachma dan Lolita pun datang dan membantu kami. Setelah jamunya selesai dibuat dan dimasukkan ke dalam botol, kami semua mandi bergantian sambil membantu bu Mur menyiapkan sarapan. Setelah selesai mandi dan sarapan, kami pun berjualan jamu. Rencananya, hari ini aku, Shita, dan Lolita akan berjualan jamu di laen desa, yaitu desa Kalipuru. Sedangkan Rachma, Audi dan teman satu rumahnya akan berjualan jamu dengan bu Klimah keliling desa Sukomangli. Aku, Shita, Lolita, serta bu Mur berangkat berjualan jamu terlebih dahulu karena jarak ke Kalipuru cukup jauh.

Untuk bisa pergi ke desa Kalipuru, kami melewati jalan yang kanan kirinya itu hutan karet semua. Tetapi, untung saja di tengah perjalanan ada 2 sepeda motor yang mau mengantarkan kami sampai di desa Kalipuru. Dengan bersusah payah, kedua sepeda motor yang kami naiki tersebut harus melewati jalan yang berbatu-batu serta jalan yang naik-turun. Di kanan kiri jalan tersebut hanya terdapat hutan, mulai dari hutan karet, kopi, coklat, dan masih banyak lagi. Namun, yang paling banyak adalah hutan karet. Setelah sampai di desa Kalipuru, yang ternyata jaraknya memang lumayan jauh dari desa Sukomangli, kami pun turun dari sepeda motor tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih pada bapak yang mengendarai daan mengantarkan kami tadi.

Di desa Kalipuru, yang pertama kali kami tuju adalah peternakan ayam. Peternakan tersebut sangat besar. Terdapat beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu ayam di sana. Ketika berjualan jamu di peternakan ayam tersebut, kami bertemu dengan peserta live in lain yang berasal dari desa Gedong. Kami pun sama-sama terkaget-kaget. Setelah itu, kami melanjutkan ke rumah-rumah yang biasanya memang sudah menjadi pelanggan tetap jamu bu Mur. Ketika kami berjualan dari rumah ke rumah, kami malah menjadi tontonan bagi warga di sana. Banyak yang menertawakan kami. Banyak yang berkata bahwa seharusnya kami yang menggendong jamu tersebut. Warga di sana menyebut kami PKL. Untung saja jamunya cepat habis sehingga bisa segera pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku dan Shita memutuskan untuk berjalan sampai rumah. Kami sudah memaksa dan mendesak bu Mur untuk ikut truk yang lewat sampai ke Sukomangli karena bu Mur sudah terlihat pucat dan kecapekan menggendong jamu, tetapi bu Murnya juga malah ikut-ikutan tidak mau. Ya sudah, akhirnya kami pun pulang dengan berjalan kaki dan Lolita pun menggantikan bu Mur menggendong jamu sampai rumah. Dalam perjalanan pulang, aku senang sekali bisa menghirup udara yang sejuk di hutan. Aku senang sekali bisa menjelajahi hutan dengan berjalan kaki seperti ini. Aku bersyukur sekali ditempatkan di desa Sukomangli ini karena memiliki pemandangan dan tempat-tempat yang sangat indah. Aku juga menyempatkan diri untuk berfoto-foto. Sambil berjalan pulang, kami juga mengambil kayu-kayu yang berserakan untuk dijadikan kayu bakar. Seperti peribahasa sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sebenarnya bagiku perjalanan pulang itu terasa tidak terlalu lama dan tidak terlalu jauh, bahkan mungkin malah menyenangkan.

Setelah sampai di rumah, aku, Shita, dan Lolita istirahat sebentar dengan duduk – duduk di teras. Setelah itu Shita memiliki rencana untuk membuat jamu yang dibungkus dengan plastik kecil-kecil dan dijual saat sebelum tur ke pabrik karet. Setelah aku sholat dan makan siang, kami pun segera membuat jamu lagi. Jadi, sejak kemarin kami selalu membuat jamu 2 kali tiap harinya. Hal ini kami lakukan untuk bisa menambah penghasilan orang tua asuh kami. Kami pun mulai menumbuk bahan-bahan untuk jamu. Kami hanya akan membuat 2 jamu, yaitu kunir asem dan beras kencur. Setelah semuanya jadi dan dibungkus ke dalam plastik-plastik kecil, kami pun membawa jamu-jamu tersebut di dalam sebuah plastik besar. Alhamdulillah, jamu-jamu itu laris semua dan kami bisa memperoleh sekitar 20.000an. Setelah itu, kami melakukan tur ke pabrik karet.

Di pabrik karet, walaupun turnya cukup membosankan, tetapi tur tersebut dapat menambah pengetahuanku mengenai cara pembuatan karet sebenarnya. Saya bisa mengamati secara langsung proses pengolahan karet dari getah sampai menjadi karet siap pakai. Di sana, kami pastinya juga berfoto-foto ria. Setelah selesai tur, aku bersama teman-teman sekelas pergi ke rumahnya Yasin. Di sana tanpa ada rasa malu kami menghabiskan makanan dan minuman yang ada. Karena kami sangat ingin minum es, kami pun pergi ke tokonya Dian untuk membeli es batu serta nutrisari. Kemudian, es tersebut dibuat di dalam teko dan diminum bersama-sama. Setelah itu, kami berencana untuk pergi ke lapangan.

Sesampainya di lapangan, teman laki-laki kami bermain futsal sedangkan aku, Puput, Siti, dan Camelia malah berlomba-lomba mencari bijih karet yang jatuh ke tanah. Aku memperoleh cukup banyak biji karet, tetapi tetap masih kalah dengan bijih karet yang didapat Puput. Setelah itu, kami melihat teman perempuan kami yang lain bermain teplok nyamuk. Kami berempat pun langsung menghentikan perlombaan aneh tersebut dan segera ikut bermain teplok nyamuk. Bermain teplok nyamuk dimana yang kalah akan diberi bedak sungguh mengasyikkan. Untung saja, aku tidak pernah kalah. Tapi, ujung-ujungnya aku juga diberi bedak ”biar adil” , begitu kata teman-teman yang lain. Setelah puas bermain teplok nyamuk dan berfoto – foto ria, kami pun pulang ke rumah masing-masing karena hari juga sudah sore. Sore terakhir yang kami lewatkan di Sukomangli ini, benar-benar pengalaman yang tak bakal bisa dilupakan.

Di malam sharing terakhir kali ini, pak Ikhwan berjanji akan mendatangkan seorang tokoh desa dan tempatnya pun berbeda dari tempat untuk sharing pada malam-malam sebelumnya. Tempat untuk sharing malam ini dilakukan di tempat orang asuh Slim karena ternyata yang dimaksud dengan tokoh yang akan didatangkan saat malam terakhir adalah orang tua dari orang tua asuhnya Slim. Di sana kami diceritakan tentang pengalaman seseorang sampai beliau bisa meraih keberhasilan seperti saat ini. Jujur saja, karena saya terlalu mengantuk di sana, saya malah tidak mendengarkan apa yang beliau ceritakan, saya malah tertidur dengan pulas.
Setelah sharing terakhir tersebut, kami pun pulang ke rumah masing-masing sekitar pukul 09.00. Malam itu langit terlihat bertabur banyak bintang dan bulan yang bersinar terang terlihat begitu indah. Suasana malam terakhir itu membuatku menjadi lebih sedih lagi jika mengingat besok adalah hari kepulangan kami ke Semarang.


Setelah sampai di rumah, aku dan teman-teman mulai membereskan pakaian-pakaian kami, bersiap-siap untuk pulang besok. Karena pakaian kami juga masih berada di koper semua, kami pun tidak memerlukan waktu yang terlalu banyak untuk membereskan pakaian kami. Setelah semuanya sudah masuk ke dalam koper, kami pun segera tidur.

Selasa, 19 Januari 2010

Hari perpisahan yang paling tak ingin kulewati akhirnya datang juga. Bangun pukul 06.30 (tentunya setelah sholat subuh tidur lagi) aku langsung teringat bahwa kami seharusnya sudah berkumpul di balai desa untuk pulang sekitar pukul 07.30. Kami pun langsung mandi bergantian. Setelah itu, kami makan pagi bersama-sama. Setelah makan pagi, ternyata Audi dan temannnya sudah bersiap di depan rumahku sambil membawa koper untuk ke balai desa. Setelah itu, aku pun meminta kepada Bu Klimah satu keluarga untuk mau berfoto bersama-sama dengan aku, Shita, Rachma, dan Lolita di depan rumah.

Akhirnya Audi pun memfoto kami dari depan rumah. Setelah itu, kami pun berpamitan kepada Bu Klimah satu keluarga. Kami menyerahkan kenang-kenangan kami kepada mereka dan mereka memberi kami oleh-oleh satu plastik besar. Bu Klimah sekeluarga berpesan agar aku dan teman-temanku tidak pernah melupakan mereka dan menyuruh kami datang ketika lebaran nanti. Mereka juga meminta maaf jika selama 3 hari live in ini mereka mempunyai kesalahan. Aku pun juga begitu, aku meminta maaf kepada mereka karena telah merepotkan mereka selama 3 hari. Perpisahan itu terjadi begitu singkat, setelah kami bersalaman, aku langsung membawa koperku menuju balai.

Setelah apel penutupan di balai desa, kami bersalam-salaman dengan seluruh orang tua asuh. Setelah itu kami masuk ke dalam bus. Saat bis mulai berangkat, seluruh orang tua melambaikan tangan dari pinggir jalan. Kejadian itu benar-benar menyentuh hatiku. Aku pasti akan merindukan segala sesuatu yang ada di Sukomangli ini. Tapi, setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan inilah perpisahan itu. Dan akhirnya di hari perpisahan ini, kami pun pulang dengan membawa sejuta pengalaman yang tak kan pernah bisa untuk dilupakan.

0 komentar:

Post a Comment